Dahulu pada zamannya, di sebuah tempat di
wilayah Tapanuli (Humbang Hasundutan-2016), tinggallah seorang laki-laki yang
kemudian diketahui bernama SAKKAR TOBA SILABAN. Pria ini adalah sosok utama,
yang menjadikan Silaban dan Hutabarat terikat pada sebuah PADAN (ikrar/sumpah -
red), sehingga kedua marga itu tidak saling kawin hingga saat ini.
Konon katanya, Sakkar Toba adalah anak
semata wayang, yang tumbuh sebagai anak yatim piatu. Sejak kecil, ia hidup
tanpa kedua orang tuanya, karena ayah dan ibunya mati dibunuh, saat Sakkar Toba
terbilang masih sangat kecil . Oleh karena itu, mau tidak mau ia harus hidup
dengan orang lain, dan akhirnya ia berada dalam asuhan pamannya, yang bernama
Datu Mangambe atau Datu Mangambit.
Datu Mangambe adalah salah satu adik dari
Datu Bira, dan salah satu yang lain adalah Datu Guluan. Mereka tiga
bersaudara, berayahkan Borsak Jungjungan Silaban. Ketiga kakak beradik ini
cukup dikenal ditengah masyarakat sebagai figur yang memiliki keahlian, dan
masing-masing memiliki keahlian yang berbeda-beda, sesuai dengan gelar yang
mereka miliki sebagai datu (tabib).
Sepeninggal kakaknya, Datu Mangambe sungguh
menaruh rasa iba kepada Sakkar Toba keponakannya, yang harus menjalani
hidup tanpa ayah dan ibu sejak dari kecil. Melihat situasi yang menimpa
keponakannya itu, Datu Mangambe kemudian menaikkan ikrar di hadapan jenazah
kakaknya, bahwa ia tidak akan menikah sebelum keponakannya Sakkar Toba menikah
dan akan mendampingi Sakkar Toba tumbuh hingga dewasa.
Menurut cerita, Datu Mangambe memang
sungguh-sungguh menepati janji itu dan melaksanakan ikrarnya sesuai dengan apa
yang telah ia ucapkan saat berada dihadapan jenazah kakaknya Datu Bira ayah
Sakkar Toba. Ia membesarkan Sakkar Toba dengan penuh kasih sayang, hingga
Sakkar Toba benar-benar tumbuh menjadi dewasa.
Setelah Sakkar Toba dewasa, Datu Mangambe kemudian memberi sinyal kepada Sakkar
Toba, supaya segera mencari wanita untuk ia jadikan istri. Datu Mangambe
memiliki alasan yang kuat untuk melakukan itu, agar keturunan kakandanya Datu
Bira terus tumbuh dan berkelanjutan.
Tentu saja Sakkar Toba menolak permintaan pamannya Datu Mangambe saat itu.
Sakkar Toba melakukan itu bukan tanpa alasan, bukan pula karena tidak
mengindahkan perintah pamannya Datu Mangambe. Tetapi semua itu ia lakukan,
karena ia sendiri melihat pamannya Datu Mangambe masih melajang.
Tetapi setelah mendapat penjelasan dari pamannya Datu Mangambe, bagaimana pada
masa silam ia berikrar dihadapan jenazah ayahnya Datu Bira, barulah Sakkar Toba
mengerti. Setelah memahami dengan sungguh, apa yang telah terjadi pada masa
lalu antara pamannya Datu Mangambe dengan ayahnya Datu Bira, kemudian Sakkar
Toba segera mempersiapkan segala kebutuhan untuk sebuah perjalanan, untuk
segera melaksanakan perintah pamannya Datu Mangambe.
Dengan rasa sedih, Sakkar Toba pamit kepada pamannya Datu Mangambe. Ia merasa
terharu, sebab hanya untuk dirinya, pamannya rela tidak menikah hingga usianya
jauh melebihi usia layak menikah. Sakkar Toba bersujud dihadapan pamannya
Datu Mangambe, mohon doa restu lalu pergi.
Dengan semangat yang besar, termotivasi oleh pengorbanan pamannya, kemudian
Sakkar Toba melangkah meninggalkan pamannya Datu Mangambe di kampung halaman,
menuju ke arah selatan dengan harapan ia akan menemukan tambatan hati,
seorang wanita yang kelak menjadi pendamping hidup dan menjadi ibu dari
anak-anaknya.
Cukup lama Sakkar Toba berjalan, barulah ia bisa mencapai sebuah daerah, yang
oleh orang setempat disebut Rura Silindung. Untuk mencapai tempat itu, Sakkar
Toba harus menghabiskan beberapa hari di perjalanan dan menghabiskan cukup
banyak persediaan makanan yang ia bawa sebagai bekal di perjalanan.
Tetapi perjalanan panjang yang cukup melelahkan itu, ternyata tidak sia-sia.
Nun jauh di ujung sana, Sakkar Toba dapat melihat kepulan asap putih menjulang
ke angkasa, pertanda di dekat situ ada pemukiman warga, dan dengan demikian
perjalanannya tidak lama lagi akan segera sampai.
Mengingat tempat yang ia tuju sudah berada di depan mata, Sakkar Toba
mempercepat langkahnya, dengan harapan ia bisa sampai lebih cepat.
Tiba-tiba Sakkar Toba mendengar suara ANDUNG (menangis sembari
bersenandung) dari seorang wanita, yang menandakan bahwa sedang terjadi
peristiwa duka, pada seseorang yang menjadi sumber suara itu.
Karena penasaran, Sakkar Toba memperlambat
langkahnya dan berusaha mencari sumber suara itu. Setelah memastikan arah dari
sumber suara itu, kemudian Sakkar Toba melangkah dengan pasti, dengan harapan,
langkahnya adalah langkah yang sudah tepat. Semakin kaki Sakkar Toba melangkah,
semakin dekat suara andung dan betul suara itu berasal dari seorang wanita.
Kemudian Sakkar Toba melihat sebuah dangau (gubuk) berdiri tinggi, tempat
darimana sumber suara itu berasal. Lalu dengan perlahan penuh kewaspadaan
Sakkar Toba menaiki dangau itu, dan Sakkar Toba tertegun melihat seorang wanita
muda duduk sendirian tengah menangis sembari bersenandung. Setelah
memperkenalkan diri lalu Sakkar Toba Silaban bertanya kepada wanita itu, siapa
gerangan wanita itu dan kenapa sampai menangis hingga wanita itu meratap seduka
itu.
Dari penuturan wanita itu, kemudian Sakkar
Toba tau, bahwa wanita itu adalah Boru Pasaribu yang meratapi kematian suaminya
Si Hutabarat, setelah meregang nyawa dicabik-cabik oleh seekor Babi Hutan (aili
marhasaktian), dimana binatang itu diceritakan memiliki kalung magis (ranteni
aili - red) yang membuatnya menjadi kuat melebihi kekuatan semestinya.
Ketika Sakkar Toba bertanya kepada Boru Pasaribu mengapa tidak segera pulang
untuk memberitahukan peristiwa itu kepada warga sekampung. Ia beritahukan
bahwa, ia bertahan di dangau karena tidak berani turun, khawatir babi hutan itu
masih menunggunya dibawah dangau. Itulah sebabnya ia menangis (mangandung)
dengan keras, dengan harapan ada seseorang yang melintas, dan mendengar suara
andungnya. Dan bersyukur, karena Sakkar Toba kebetulan melintas di sekitar
dangau.
Kemudian Sakkar Toba menawarkan jasa untuk menghantar Boru Pasaribu pulang ke
rumahnya. Rupanya tawaran itu disambut dengan senang hati oleh Boru Pasaribu,
dan tak lama kemudian, mereka tiba di rumah Boru Pasaribu, dan melihat mereka
berdua, warga sekampung kemudian berdatangan ke rumah Boru Pasaribu, mereka
ingin tau siapa gerangan pria bersama Boru Pasaribu yang jelas-jelas bukan
suaminya.
Melihat ekspresi kecurigaan yang tampak di wajah para warga, lalu Sakkar Toba
memperkenalkan diri, dan menceriterakan peristiwa yang baru saja menimpa Boru
Pasaribu. Seterusnya, Sakkar Toba menuturkan itulah alasan, mengapa mereka bisa
berjalan bersama pulang ke kampung itu. Mendengar penuturan Sakkar Toba, dan
dibenarkan oleh Boru Pasaribu, barulah warga kampung itu memahami persoalan
yang telah terjadi.
Kemudian Boru Pasaribu mengungkapkan
pernyataan berupa sayembara, bahwa barang siapa yang mampu membunuh babi
hutan itu, dan membawa kepala binatang liar itu kehadapannya, maka apapun yang
ada di dalam rumah Boru Pasaribu boleh diambil untuk mereka miliki. Boru
Pasaribu menyatakan ungkapan berupa sayembara itu dihadapan penduduk desa,
dan siapa saja yang hadir pada saat itu, termasuk Sakkar Toba.
Setelah cukup bertutur kata, lalu Sakkar
Toba pamit dan pergi menuju tempat dimana perkelahian antara Si Hutabarat
(suami Boru Pasaribu) dengan babi hutan itu berlangsung, hingga merenggut nyawa
Si Hutabarat. Entah apa yang berkecamuk dalam pikiran Sakkar Toba saat itu,
tapi yang jelas (menurut cerita), setelah mendengar pernyataan Boru Pasaribu,
Sakkar Toba segera pergi.
Tanpa kesulitan, Sakkar Toba akhirnya
menemukan babi huta itu sedang berkubang (margulu-red). Secara perlahan ia
berusaha mendekati binatang itu dengan mengendap-endap, untuk memastikan bahwa
yang sedang berkubang itu benar-benar babi hutan yang telah membunuh Si
Hutabarat. Disisi lain, babi hutan yang tengah asyik membasahi tubuhnya di
kubangan, tidak menyadari bahwa ia sedang di awasi oleh seseorang. Hal itu
hanya bisa terjadi, karena memang Sakkar Toba memiliki kemampuan lebih,
sehingga ia tidak diketahui sang babi hutan, tengah mengawasinya dengan jarak
begitu dekat.
Dengan sangat hati-hati Sakkar Toba mengamati situasi, mencari tau dimana
binatang itu menaruh kalung yang diceritakan memiliki kekuatan magis itu. Dan
dengan mudah mata Sakkar Toba menemukan kalung itu, yang tergantung di sebuah
tunggul, tak jauh dari tempat dimana binatang itu berkubang. Menurut
cerita, kalung itu tidak boleh kena air. Jika sampai kena air kekuatan magis
kalung itu akan hilang dengan sendirinya. Karena itu, setiap binatang itu
berkubang, kalung itu selalu dilepas, dan diletakkan ditempat yang jauh dari
kemungkinan kena air.
Dengan perlahan, Sakkar Toba berusaha bergeser dari tempat dimana ia
bersembunyi. Dan dengan membawa sebatang bambu panjang yang kecil, ia berusaha
menaiki sebuah pohon yang berada tidak jauh dari tunggul dimana binatang itu
menempatkan kalungnya.
Dari atas pohon, Sakkar Toba berusaha meraih kalung itu dengan menggunakan
sebatang bambu yang ia bawa. Sakkar Toba mengait kalung itu dari atas pohon,
menariknya dengan perlahan hingga akhirnya berada ditangannya. Setelah
kalung ia dapatkan, kemudian oleh Sakkar Toba kalung itu dikenakan
dilehernya, lalu turun dari pohon tempat dari mana ia mengait kalung itu dan
menghampiri binatang yang sedang berkubang itu.
Dengan kepercayaan diri yang sangat tinggi, Sakkar Toba berdiri di tepi
kubangan. Tentu saja binatang itu kaget bukan kepalang, mengetahui seorang
manusia ada di dekatnya. Bergegas binatang itu keluar dari kubangan dan
berusaha untuk meraih kalung yang olehnya ditempatkan diatas sebatang tunggul,
tapi sayang kalung itu sudah tidak berada di tempatnya. Dengan amarah yang
tak terkendali, binatang itu mengejar Sakkar Toba lalu menyeruduknya, berusaha
untuk membunuh.
Tetapi situasi sudah berubah, tanpa kalung yang berkekuatan magis,
binatang itu sudah tidak memiliki kekuatan lebih, sebaliknya Sakkar Toba malah
semakin kuat tak tertandingi karena telah mengenakan kalung magis itu
dilehernya. Dengan mudah Sakkar Toba mengalahkan binatang itu, dan setelah
memastikan binatang itu sudah tak bernyawa, lalu dengan geram, Sakkar Toba
menyembelih leher babi hutan itu hingga putus . Kemudian ia membawa kepala
binatang itu kehadapan Boru Pasaribu, dan seluruh warga desa.
Tetapi warga desa tidak percaya begitu saja kepada Sakkar Toba. Mereka
beranggapan, tidak mungkin Sakkar Toba bisa melakukan itu begitu mudah, dan
dalam waktu yang singkat pula. Mereka tidak tau, bahwa Sakkar Toba adalah
seorang pria yang memiliki kemampuan diluar kemampuan manusia pada umumnya.
Keahlian itu ia dapat, setelah ia berguru cukup lama dan mendapat ilmu dari
pamannya Datu Mangambe.
Untuk membuktikan bahwa Sakkar Toba sungguh telah membunuh binatang liar itu,
lalu warga desa bersama Sakkar Toba sepakat untuk mendatangi tempat dimana
Sakkar Toba melumpuhkan babi hutan itu. Setibanya di tempat dimana peristiwa
itu terjadi, penduduk desa melihat binatang itu telah terkulai tak bernyawa.
Lalu penduduk desa membedah binatang itu, mencabik-cabiknya hingga menjadi
potongan-potongan kecil.
Pada saat membedah dan memotong-motong bagian perut binatang liar itu, salah
seorang warga menemukan sebuah cincin dari usus binatang itu. Kemudian cincin
tersebut ditunjukkan kepada Boru Pasaribu, barangkali cincin itu adalah salah
satu milik dari Si Hutabarat. Melihat cincin itu, Boru Pasaribu menjadi sedih
dan kembali menangis. Dalam andungnya (tangisnya), Boru Pasaribu menyatakan
memang benar bahwa cincin itu adalah milik suaminya Si Hutabarat.
Selesai sudah keraguan warga desa kepada Sakkar Toba. Penemuan cincin dari usus
aili (babi hutan- red), sudah cukup untuk dijadikan bukti, bahwa binatang
itulah yang menyeruduk Si Hutabarat hingga tewas dan memakan seluruh tubuhnya.
Kemudian seluruh warga desa bersama Sakkar Toba meninggalkan begitu saja
bangkai binatang itu berserakan, tanpa menguburkannya terlebih dahulu, dan
kembali ke desa.
Setibanya di rumah, Boru Pasaribu kemudian mengucapkan terimakasih kepada
Sakkar Toba, seraya mempersilahkan Sakkar Toba untuk mengambil apa saja yang
ada di dalam rumah Boru Pasaribu, sebagai balas jasa untuk menepati janji yang
telah ia ucapkan sebelumnya. Alangkah kagetnya Boru Pasaribu, sebab Sakkar
Toba tidak meminta apapun dari isi rumahnya, selain diri Boru Pasaribu
sendiri. Boru Pasaribu tak pernah menduga, jika Sakkar Toba malah meminta
dirinya sendiri untuk ia jadikan sebagai pendamping hidupnya.
Situasi di dalam rumah menjadi hening mencekam. Semua warga yang hadir di rumah
Boru Pasaribu tidak menduga jika Sakkar Toba meminta Boru Pasaribu untuk
diambil menjadi miliknya. Tentu saja warga desa keberatan dengan pilihan Sakkar
Toba. Warga desa yang terbilang didiami warga satu rumpun marga serupa dengan
marga suami Boru Pasaribu, tentu punya alasan yang tepat untuk menaruh
keberatan, jika istri kerabatnya yang tengah mengandung harus dipersunting
orang lain, yang berasal dari marga yang berbeda pula.
Tetapi janji telah diucapkan. Dimana, barang siapa yang mampu membunuh binatang
itu, dan membawa kepala binatang tersebut kehadapan Boru Pasaribu, maka apapun
yang ada di dalam rumah Boru Pasaribu boleh diambil untuk dimiliki oleh
siapapun yang berhasil membunuh babi hutan itu. Boru Pasaribu tidak membuat
satupun pengecualian saat mengucapkan pernyataan berupa sayembara. Ia sendiri
adalah salah satu isi dan menjadi bagian dari rumahnya sendiri. Tentu, iapun
adalah salah satu bagian dari yang disayembarakan.
Warga Desa dan Pemangku Adat tidak bisa berkelit lagi, dan akhirnya menyerahkan
sepenuhnya kepada Boru Pasaribu untuk mengambil keputusan. Sesungguhnya, Boru
Pasaribu sengaja tidak membuat pengecualian saat mengucap sayembara, dengan
harapan, Sakkar Toba mampu menjadi pemenang pada sayembara itu, dan saat
meminta hadiah sayembara ia berharap Sakkar Toba meminta dirinya sebagai balas
jasa. Pucuk dicinta ulampun tiba. Rupanya Yang Maha Kuasa mengabulkan semua
harapan Boru Pasaribu, dan Sakkar Toba meminta dirinya sebagai balas jasa.
Setelah Warga Desa dan Pemangku Adat menyerahkan sepenuhnya kepada Boru
Pasaribu untuk mengambil keputusan, dan ia memutuskan untuk menyanggupi
permintaan Sakkar Toba. Hanya saja, Boru Pasaribu mengajukan persyaratan, bahwa
Sakkar Toba tidak boleh menggauli Boru Pasaribu sebagaimana lazimnya pasangan
suami istri, sepanjang wanita itu mengandung benih Si Hutabarat yang pada saat
itu sedang berada dalam rahimnya. Untuk hal itu, Sakkar Toba tidak
keberatan dan beberapa saat kemudian, ia dan Boru Pasaribu diresmikan menjadi
Pasangan Suami Istri.
Setelah peristiwa itu, Boru Pasaribu
kemudian melahirkan anak yang ia kandung atas perkawinannya dengan almarhum Si
Hutabarat, yang kemudian diberi nama SAKKAR PANGURURAN. Lalu beberapa tahun
berselang, dari perkawinannya dengan Sakkar Toba, Boru Pasaribu melahirkan
beberapa orang anak, diantaranya dua orang anak laki-laki, yang dikemudian hari
diberi nama MARTIANG OMAS dan TUAN SAMPULU
Sakkar Pangururan tumbuh dan berkembang
bersama kedua adiknya, tumbuh besar dalam rumah yang sama, namun Sakkar
Pangururan beda marga dari kedua adiknya. Sakkar Pangururan bermarga Hutabarat,
sementara kedua adiknya marganya Silaban. Menyadari itu, lalu muncul
kekhawatiran kalau kelak dikemudian hari keturunan tiga bersaudara itu akan
saling menikah satu sama lain. Sebab dengan marga yang berbeda, tanpa sebuah
ikatan janji kemungkinan untuk saling kawin dikemudian hari sangat besar peluang
terjadinya.
Berangkat dari kekhawatiran itu, setelah
ketiga bersaudara itu beranjak semakin dewasa, kemudian Sakkar Toba dan Boru
Pasaribu sebagai orang tua, di hadapan ketiga anaknya membuat sebuah PADAN
(ikrar - read) sebagai ikatan, bahwa keturunan Sakkar Toba Silaban dan Sakkar
Pangururan Hutabarat, tidak diperkenankan untuk saling menikah. Dan sejak saat
itu, padan berlaku hingga sekarang.
Beberapa tahun berselang, setelah ketiga
putranya menanjak semakin dewasa, Sakkar Toba membawa anak dan istri berkunjung
ke kampung halamannya. Setiba disana, pamannya Datu Mangambe terkejut bercampur
bahagia, melihat keponakannya datang bukan hanya bersama istri, tetapi ia
datang juga bersama anak-anaknya. Kebahagiaan Datu Mangambe semakin membahana,
mengingat ikrar dengan kakandanya Datu Bira telah terlaksana dengan baik.
Setelah itu, Datu Mangambe kemudian melepas ikatan ikrar, lalu menikah beberapa
kali, dengan maksud untuk mengejar ketertinggalan dirinya, dari sisi jumlah dan
silsilah keturunan.
Catatan :
Melalui media ini kami mau mengatakan, jika ada pro dan kontra Silaban mana dan
Hutabarat mana yang berkaitan dengan padan itu, terpulang kepada
semua pihak sebagai keturunan Silaban dan Hutabarat, sebab dengan
tulisan ini sesungguhnya semua sudah jelas. Dan perlu kami sampaikan juga,
berpuluh tahun yang lalu telah diadakan sebuah pertemuan akbar, yang telah
melahirkan sebuah kesepakatan yang berbunyi : PADANNI ANGGINADO PADANNI
HAHANA. (Ikrar kakaknya, tentu juga ikrar adiknya)
Dengan demikian, tidak ada lagi pengecualian
antara SIAPA dengan SIAPA, lalu tidak ada lagi MENGAPA dan BAGAIMANA, singkat
cerita " SILABAN & HUTABARAT " adalah dua marga yang telah
terikat oleh " PADAN ". Namun sekali lagi, semua berpulang kepada
diri sendiri, bagaimana seorang pinompar menghargai kesepakatan yang sudah
ditetapkan.
HORAS … SALAM GEMILANG