Kamis, 07 Mei 2015

NAINGGOLAN DAN SIREGAR

Peristiwa terjadinya PADAN (baca - ikrar") antara marga Nainggolan dan Siregar, bermula dari dua orang perempuan, yang satu adalah istri dari Nainggolan Parhusip dan yang satunya adalah istri dari Toga Siregar. Diceritakan, istri dari Nainggolan Parhusip merindukan kehadiran seorang anak perempuan di tengah keluarganya, sementara istri Toga Siregar sebaliknya merindukan kehadiran seorang anak laki-laki.

Bagi istri Nainggolan Parhusip yang telah melahirkan beberapa anak dan semua laki-laki, menjadi alasan baginya untuk mengharapkan seorang anak perempuan. Lain lagi dengan istri Toga Siregar, yang juga belum melahirkan seorang anak laki-laki, menjadi kekhawatiran tersendiri baginya, karena dia adalah istri yang kedua, sementara istri Siregar yang pertama, telah melahirkan dua anak laki-laki.

Perlu juga diketahui, istri Siregar yang kedua ini, adalah adik kandung dari istri pertamanya, yang meninggal setelah melahirkan anaknya yang kedua. Dengan demikian, istri kedua Siregar menggantikan istri pertamanya dengan upacara ”ganti rere” (istri sebelumnya adalah kakak kandung dari istri berikutnya)
                 
Dikabarkan, istri dari Siparhusip dan Siregar mengandung pada waktu yang bersamaan. Tentu berbagai upaya do’a dilakukan, agar keinginan kedua perempuan itu, mendapatkan anak sesuai dambaan hati mereka dapat dikabulkan Yang Maha Kuasa. Tiba waktunya, rupanya kedua perempuan itu ditakdirkan untuk segera melakukan persalinan pada saat yang bersamaan pula.

Ketika saat persalinan tiba, semua harapan menjadi sirna. Istri Siparhusip tetap saja melahirkan anak laki-laki, dan istri Siregar melahirkan anak perempuan. Rupanya Sibaso (Paraji – red), wanita yang membantu persalinan mereka berdua adalah orang yang sama, sosok yang tau persis, keluhan dari kedua wanita itu. Dan, atas petunjuk dari Sibaso/Paraji tersebut, peristiwa besar itupun terjadi.

Dibantu Sang Sibaso, kedua wanita itu membuat kesepakatan, dan kedua anak yang baru saja dilahirkan kemudian ditukar, anak laki-laki yang dilahirkan istri Siparhusip diberikan kepada istri Siregar, dan anak perempuan yang dilahirkan istri Siregar diserahkan kepada istri Siparhusip. Dikabarkan juga, tidak ada yang mengetahui peristiwa itu terjadi, selain tiga orang perempuan, yakni istri Nainggolan Parhusip, istri Toga Siregar dan Sibaso yang membantu persalinan mereka.

Peristiwa besar itu ditandai dengan datangnya ronggur (petir – red) menggelegar, yang membuat seisi wilayah itu terkejut pada siang itu, karena suara itu memekakkan telinga, sampai membuat telinga seperti hendak pecah. Seluruh warga yang mendengar suara itu, memastikan bahwa telah terjadi peristiwa tidak lazim. Hanya saja mereka tidak tau, peristiwa apa yang telah terjadi dan dimana peristiwa itu berlangsung.

Selain membuat penduduk desa terkejut, suara petir itu juga membuat Siparhusip dan Siregar, serta para nelayan yang sedang mencari ikan di tengah danau terkejut bukan kepalang. Hal itu membuat mereka menjadi takut, lalu menepi ke pantai dan pulang ke rumah masing-masing.

Betapa riangnya hati Siparhusip dan Siregar, setelah mereka tau istri mereka melahirkan anak dengan selamat. Mereka sama sekali tidak tau hari itu istri mereka telah melahirkan, kalau warga desa tidak memberitahukannya. Mendengar berita bahagia itu, mereka berdua semakin mempercepat langkah, agar tiba di rumah lebih cepat.

Setibanya di rumah, Siparhusip segera menghampiri istrinya, lalu mengucapkan selamat, yang ia ungkapkan sebagai wujud sukacita. Rasa sukacita Siparhusip semakin bertambah-tambah, setelah ia tau anaknya yang lahir adalah seorang perempuan. Tetapi, semakin ia memperhatikan anak itu, rasa suka cita yang sedari tadi menghiasi wajah Siparhusip mulai berubah. Ekspresi wajah Siparhusip semakin menunjukkan rona kecurigaan, ketika semakin ia menatap anak perempuan yang baru lahir itu.

Melihat gelagat suaminya yang mulai curiga, istri Siparhusip mulai gelisah. Kegelisahan itu semakin meningkat dan berubah menjadi rasa takut, ketika tiba-tiba petir kembali menggelegar hingga membuat bayi perempuan itu kaget lalu menangis. Sementara itu, kecurigaan Siparhusip semakin meningkat seiring dengan suara petir yang datang secara tiba-tiba, membuat ia semakin percaya kepada kata hatinya, bahwa bayi perempuan itu bukanlah darah dagingnya.

Tidak menunggu lama, istri Nainggolan Parhusip segera bangkit dan menghampiri suaminya, lalu membungkuk dan sujud, seraya menuturkan peristiwa yang sudah terjadi, kemudian memohon ampun atas segala dosa yang telah ia lakukan, karena ia telah bertindak terlalu jauh, tanpa sepengetahuan suaminya.

Melihat ketulusan hati istrinya untuk memohon ampun, Siparhusip mengurungkan niat untuk menghukum istrinya, lalu meraih bayi perempuan itu dari sisi istrinya, kemudian membawa pergi menuju kediaman Siregar. Nainggolan Parhusip berniat untuk menukar kembali bayi perempuan, dengan bayi laki-lakinya yang ada pada keluarga Siregar.

Melihat Siparhusip muncul diambang pintu rumahnya dengan membawa bayi, istri Siregar mendadak ketakutan. Ia sadar, rahasia yang ia simpan bersama istri Si Parhusip tentang pertukaran bayi sepertinya telah terbongkar. Melihat gelagat Siparhusip sudah siap untuk angkat bicara, istri Siregar segera bangkit dari tempatnya, lalu tunduk dan sujud di hadapan suaminya. Istri Siregar juga menjelaskan dengan rinci peristiwa yang telah terjadi, dan mengakui segala kesalahan yang telah ia lakukan, lalu memohon ampun kepada suaminya atas tindakan itu.

Toga Siregar sangat terkejut mendengar penjelasan dari istrinya, sehingga membuatnya tak mampu bicara walau sepatah kata. Pengakuan istrinya membuat dirinya terkulai lemas, sebab anak laki-laki mereka bukanlah anak yang lahir dari rahim istrinya, melainkan dari rahim istri Siparhusip. Melihat situasi yang semakin tidak menentu, Siregar hanya bisa berserah kepada Yang Maha Kuasa. Ia pasrah kalau Siparhusip sampai melampiaskan amarah kepada dirinya. Ia sangat sadar, bahwa istrinya telah bertindak melampaui batas.

Melihat Siregar pasrah dalam ketidak berdayaan, kemudian Nainggolan Parhusip angkat bicara. Dia menyesalkan semua tindakan para istri, karena bertindak tanpa melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan para suami mereka. Jika keinginan itu dibicarakan dengan baik, tentu ada hal yang membuat pembicaraan berakhir dengan mufakat. Begitu Si Parhusip menuturkan kata, yang sedari tadi dipendam di dalam hati.

Kemudian Nainggolan Parhusip membuat pernyataan yang mencengangkan, bahwa sejak saat itu, Siregar harus menjadi adiknya lalu mengangkat sumpah, bahwa sejak saat itu pula, anak laki-laki keturunan Nainggolan Parhusip tidak boleh mengawini anak perempuan Siregar Silali, dan begitu juga sebaliknya, anak laki-laki keturunan Siregar Silali tidak boleh mengawini anak perempuan Nainggolan Parhusip. Dan sejak saat itu, bayi laki-laki yang diserahkan Siparhusip kepada Siregar, resmi diberi nama Silali.

Masih mendekap bayi perempuan Siregar, Nainggolan Parhusip melanjutkan pernyataannya, bahwa sejak saat itu anak perempuan Siregar menjadi anaknya, dan anak laki-lakinya sendiri ia serahkan menjadi anak Siregar. Mendengar pernyataan Siparhusip, Siregar dan istrinya menjadi lega, dan mereka berdua bangkit dari tempatnya secara bersamaan dan sujud di hadapan Nainggolan Parhusip, lalu menyatakan menerima sumpah (padan – red) sebagai sumpah bersama, dan menjadi sumpah secara turun-temurun bagi keturunan Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali.

Hingga saat ini, keturunan Nainggolan Parhusip dan keturunan Siregar Silali tidak ada yang saling menikah, mereka sungguh menghormati PADAN (sumpah – red) yang telah dinaikkan oleh kakek moyang mereka. Dahulu memang hanya Nainggolan Parhusip dengan Siregar Silali saja yang mengangkat sumpah, namun saat ini semua keturuanan Nainggolan dan keturunan Siregar sudah bersatu dan sepakat, bahwa sumpah bukan hanya milik Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali semata, melainkan untuk semua keturunan Nainggolan dan keturunan Siregar lainnya.

CATATAN

Sebelumnya kami mohon maaf untuk setiap orang, khususnya keturunan Toga Nainggolan dan Toga Siregar, terkait dengan tidak tercapainya nilai kesempurnaan artikel di atas, untuk menempatkan sisi kebenaran ceritanya, sesuai dengan harapan setiap orang. Hal ini kami sampaikan, mengingat ada beberapa versi tentang sumpah (padan – red) Nainggolan dan Siregar yang beredar di tengah masyarakat, termasuk diantaranya dalam komunitas Nainggolan dan Siregar itu sendiri.

Dari berbagai cerita yang kami himpun, pada dasarnya cerita yang masuk, semua menggaris bawahi pertukaran bayi sebagai inti dari cerita, sama halnya dengan cerita yang kami sajikan dalam artikel di atas. Terlepas dari alur yang berbeda, kami berharap semua orang dapat memahaminya, sebab kami melakukan ini hanya karena rasa kagum atas kekayaan cerita rakyat Batak, yang melegenda hingga ke manca negara.

Sekian & Terimakasih ... SALAM GEMILANG

Selasa, 05 Mei 2015

LUMBANTORUAN DAN NAIBAHO


Berawal dari hubungan asmara antara Raja Inar Naiborngin Naibaho dengan saudari kembarnya Si Boru Naitang, peristiwa besarpun kemudian terjadi. Dari hubungan cinta yang sangat terlarang itu, Raja Inar Naiborngin dan saudari kembarnya Si Boru Naitang kemudian melahirkan seorang putra, yang dikemudian hari anak itu diketahui bernama Sitindaon, yang menjadi kakek moyang dari Klan (marga ) Sitindaon.


Karena perbuatan Raja Inar Naiborngin dengan saudari kembarnya Si Boru Naitang adalah perbuatan yang sangat memalukan, maka sanak saudara mereka bersama tetua kampung mengadakan pertemuan, untuk mencari hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepada kedua orang yang telah melanggar hukum adat itu. 


Setelah menghabiskan waktu yang cukup panjang kemudian sanak saudara dan para tetua kampung memutuskan untuk menghukum mereka dengan seberat-beratnya, dimana Raja Inar Naiborngin dibuang ke hutan belantara dan Si Boru Naitang di tenggelamkan di tengah Danau Toba, dengan maksud supaya mereka berdua mati tak berbekas.


Diceritakan, Raja Inar Naiborngin akhirnya mampu melepaskan diri dan keluar dari hutan belantara dengan selamat, lalu bergerak menuju arah selatan dengan maksud menghindar dari kampung halamannya yang berada di sebelah utara. Sementara itu Si Boru Naitang akhirnya tenggelam di danau dan arwahnya menjadi roh penunggu disana.


Untuk menghindari hal yang buruk, kemudian Raja Inar Naiborngin memutuskan untuk pergi merantau. Kepergian itu sebenarnya sungguh tidak ia inginkan, tetapi peristiwa yang telah terjadi memaksanya untuk melakukan itu. Raja Inar Naiborngin meninggalkan kampung halamannya tanpa dibekali apapun. Ia hanya membekali diri dengan sebilah belati dan sekantong tanah  serta seguci kecil air.


Ia mengembara berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan maksud menghilangkan jejak dari usaha sanak saudaranya untuk melakukan pengejaran. Berpindah terus, rupanya membuat Raja Inar Naiborngin letih juga, lalu ia memutuskan untuk mencari tempat untuk bersembunyi sekaligus melakukan tapa, guna mempertajam ilmu yang ia miliki. 


Setelah dirasa ilmu yang ada sudah cukup mapan, kemudia ia keluar dari pertapaan dan mengganti identitasnya menjadi seseorang yang bernama Datu Galapang, untuk menyamarkan identitas aslinya dari siapapun, khususnya dari sanak saudara dan warga desa tempat dari mana ia berasal.


Saking luasnya daerah yang telah ia jelajahi, dan tak sedikit waktu yang telah ia lewatkan dalam pengembaraannya, kemudian Datu Galapang juga oleh masyarakat diberi gelar Datu Pangaranto (Tabib Pengembara), karena memang saat ia singgah pada satu tempat dalam perjalanannya, ia memperkenalkan diri sebagai seorang tabib dan hal itu ia buktikan dengan memberikan pengobatan kepada orang-orang sakit. 


Perlu juga diceritakan bahwa disepanjang pengembaraannya, Datu Galapang juga tidak segan-segan menjajal kemampuan ilmunya, yang ia implementasikan dalam bentuk bantuan kepada warga desa yang ditindas oleh warga desa lain. Perbuatan itu menghantar Datu Galapang ke puncak popularitasnya, sehingga ia semakin dikenal di tengah masyarakat sebagai seseorang  namarhasaktian (berilmu sakti - red).


Informasi kesaktian Datu Galapang rupanya juga sampai ke wilayah pemukiman dimana Klan Lumbantoruan bermukim. Ompu Raung Nabolon, bersama ketiga anaknya Ompu Hombar Najolo, Ompu Ginjang Manubung dan Ompu Pande Namora, serta seluruh sanak saudaranya, saat itu tengah berkonsentarsi menghadapi peperangan melawan serbuan dari Klan Marbun.


Pertempuran itu diceritakan berlangsung tidak seimbang, karena kemudian diketahui pihak Klan Marbun rupanya memiliki Pangulu Balang namarhasaktian (Panglima Perang sakti - red), yang menjadikan kekuatan Klan Marbun berada di atas kekuatan Ompu Raung Nabolon dan anak-anaknya, sehingga membuat Ompu Raung Nabolon semakin terdesak.


Mengetahui kekalahan sudah berada diambang pintu, Ompu Raung Nabolon berusaha untuk mencari tau sosok Datu Galapang, seseorang yang santer didengar sebagai orang yang sakti. Berbagai sumber didatangi untuk mendapat informasi yang akurat tentang kepastian dimana Datu Galapang berada.


Rupanya takdir telah ditentukan oleh Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Besar - red), agar Datu Galapang Sang Pengembara bertemu dengan Ompu Raung Nabolon. Pas ketika Klan Lumbantoruan membutuhkannya, perjalanan panjang Datu Galapang pas pula tiba di Lintong Ni Huta. Pucuk dicinta ulampun tiba, demikian kira-kira Ompu Raung Nabolon berpikir.


Mendengar Datu Galapang ada dekat dengan mereka, Ompu Raung Nabolon segera mendatangi, lalu menyampaikan maksud agar Datu Galapang membantu mereka dalam perang melawan Klan Marbun dan Panglima Perangnya, yang melakukan serangan ke wilayah pemukiman Ompu Raung Nabolon dimana ketiga anak dan seluruh warga desa sedang berkonsentrasi.


Tidak begitu sulit bagi Ompu Raung Nabolon untuk mendapatkan persetujuan dari Datu Galapang, supaya ia membantu mereka dalam perang melawan musuh. Namun dalam hal itu Datu Galapang mengajukan syarat, agar Klan Lumbantoruan menyediakan sebuah rumah tinggal bagi Datu Galapang, dari situ ia bisa mengatur strategi dengan tenang dan lebih leluasa.


Beberapa hari kemudian setelah berdiam diri dalam rumah yang telah dipersiapkan Klan Lumbantoruan, Datu Galapang akhirnya keluar. Ia mendatangi wilayah Klan Marbun seorang diri, untuk bertemu Panglima Perangnya yang dikabarkan sangat kuat dan sakti mandra guna. Hal itu adalah salah satu taktik perang, yang ia lakukan guna mengetahui kekuatan lawan.


Setelah tiba di tanah kekuasaan Klan Marbun, Datu Galapang menaburkan tanah yang ia bawa dari kampung halamannya di atas tanah kekuasaan Klan Marbun, lalu menginjakkan kaki di tanah yang ia taburkan tadi, lalu minum air yang juga ia bawa dari kampung halamannya.


Klan Marbun melihat perilaku Datu Galapang itu sebagai hal yang tidak biasa. Sebagai tamu tak dikenal, dianggap tidak sopan dengan segala tindakannya itu, sehingga Klan Marbun mendatangi Datu Galapang yang sedang berdiri, dengan maksud hendak menghalau Datu Galapang supaya pergi dari tanah kekuasaan mereka.


Tetapi Datu Galapang tidak menghiraukan Klan Marbun yang berusaha  mengusirnya dari situ, malah ia bertanya mengapa mereka mengusir dirinya, sedang tanah yang ia pijak adalah tanahnya sendiri, dan ia minum dari airnya sendiri. Mendengar jawaban Datu Galapang, Klan Marbun sadar bahwa orang yang berada di hadapan mereka bukanlah orang sembarangan.


Setelah gagal dalam usahanya menghalau Datu Galapang dari tanah kekuasaannya, Klan Marbun kemudian menginformasikan keberadaan Datu Galapang dan perilakunya kepada Panglima Perang mereka.  Lalu Panglima Perang Klan Marbun mendatangi Datu Galapang dan memintanya untuk pergi.


Tetapi jawaban Datu Galapang tetap sama, seperti ia menjawab Klan Marbun sebelumnya, sehingga membuat Panglima Perang Klan Marbun naik darah dan dengan suara yang tinggi ia menantang Datu Galapang dan berkata sambil mengeluarkan tongkat saktinya, bahwa Datu Galapang harus melangkahi mayat Panglima Perang Klan Marbun terlebih dahulu kalau memang tanah yang ia pijak adalah tanahnya sendiri.


Datu Galapang mendengar Panglima Perang itu berbicara, dan tak lepas menatap terus penuh waspada, sambil menganalisa ilmu apa yang dimiliki Panglima Perang Klan Marbun  yang sedang berdiri dihadapannya, apa yang menyebabkannya sehingga ia dikatakan panglima perang yang sangat sakti.


Datu Galapang kemudian menyimpulkan analisanya, bahwa ilmu sakti yang dimiliki panglima perang Klan Marbun itu adalah, ilmu yang akan menjadi sakti mandra guna, saat anggota tubuhnya menyentuh tanah. Tetapi jika panglima perang itu mengawang di atas tanah maka seluruh ilmu yang ada padanya akan menjadi sirna, dan ia akan dengan mudah dapat dilumpuhkan.


Setelah menyimpulkan analisanya, Datu Galapang mulai memainkan akal. Ia menantang Panglima Perang Klan Marbun untuk bertanding memanjat pohon mangga, dan siapapun diantara mereka berdua yang lebih dahulu memetik buahnya, maka dia berhak menjadi pemenang.


Mengingat pohon mangga berada lebih dekat dengannya, panglima perang klan Marbun tanpa pikir panjang segera menyetujui tantangan Datu Galapang, dan langsung bergerak menaiki pohon mangga tersebut dengan harapan ia akan memetik buah mangga lebih dahulu.


Malang bagi panglima perang klan Marbun, ilmu yang ia miliki segera sirna seiring dengan lepasnya kedua kakinya dari tanah, ketika ia naik memanjat pohon mangga. Kesempatan itu tidak disia-siakan Datu Galapang, yang dengan sangat cepat mendekati panglima perang itu, dan menghunjamkan belati ke tubuhnya berulang kali hingga panglima perang itu jatuh tersungkur kemudian tewas.


Mengetahui panglima perang klan Marbun sudah dilumpuhkan, Ompu Raung Nabolon Lumbantoruan beserta pasukannya segera menyerang Klan Marbun. Dengan kekuatan apa adanya, Klan Marbun menghadang serangan Klan Lumbantoruan tanpa bantuan panglima perangnya, dan terus mundur hingga peperangan itu sepenuhnya dimenangkan oleh Klan Lumbantoruan.


Setelah beberapa hari merayakan kemenangannya atas Klan Marbun, Ompu Raung Nabolon kemudian membuat sebuah pernyataan penting dihadapan sanak saudaranya, khususnya dihadapan ketiga putranya. Hal itu penting ia sampaikan, agar dikemudian hari tidak terjadi perselisihan tidak perlu, yang dapat memicu permusuhan diantara mereka.


Ompu Raung Nabolon menyatakan, bahwa atas jasa baik Datu Galapang yang membantu mereka terlepas dari tekanan perang, maka sejak saat itu Datu Galapang diangkat secara resmi menjadi salah satu dari anaknya, menjadi anak keempat dari empat bersaudara. Jika sebelumnya Ompu Raung Nabolon memiliki tiga anak, maka sejak itu ia nyatakan anaknya empat orang, yakni Ompu Hombar Najolo yang pertama, dan Ompu Ginjang Manubung yang kedua, lalu Ompu Pande Namora yang ketiga, serta Datu Galapang yang keempat. Dengan demikian Datu Galapang ditempatkan sebagai anak bungsu.


Rupanya Datu Galapang menyambut baik tawaran dari Ompu Raung Nabolon, untuk mengangkat dirinya sebagai anak. Untuk menjadikan pernyataan itu sah secara hukum adat, kemudian upacara yang sesuai dengan peristiwa itu segera dilakukan. Dan sejak saat itu, Datu Galapang resmi menyandang marga Lumbantoruan, dan sah menjadi salah satu kerabat Lumbantoruan.


Sebagai seorang pelarian, peristiwa itu adalah berkat luar biasa bagi Datu Galapang. Dengan terjadinya peristiwa itu, maka rasa takutnya terhadap identitas yang lama secara perlahan akan sirna, seiring dengan diperolehnya status yang baru sebagai anggota di lingkungan keluarga besar Lumbantoruan.


Upacara pengangkatan anak secara resmi terhadap Datu Galapang telah usai. Ompu Raung Nabolon sebagai ayah kemudian memberikan tempat untuk tinggal, serta mewariskan sebidang tanah miliknya tempat bercocok tanam bagi Datu Galapang Tentu saja semua itu ia lakukan atas persetujuan dari ketiga putranya, yang menjadi kakak Datu Galapang.


Hari berlalu, tahunpun berganti. Datu Galapang kemudian bersama pendamping hidupnya melahirkan tiga orang anak, yakni : Tuan Guru Sinomba, Juara Babiat dan Datu Lobi. Kehadiran anak-anak yang kemudian tumbuh dan berkembang, membuat Datu Galapang menjadi khawatir, kalau kelak dikemudian hari, anak-anaknya akan saling menikah dengan keturunan Klan Naibaho, yang ia tinggalkan di kampung halaman sebelumnya.


Untuk menghindari itu, kemudian ia dan anak-anaknya mengangkat sumpah bahwa antara keturunannya yang menjadi bagian dari Klan Lumbantoruan, tidak akan pernah saling menikah dengan anak keturunan dari Klan Naibaho, karena apapun peristiwa yang sudah terjadi, di dalam tubuh Datu Galapang tetap mengalir darah Klan Naibaho.


Maka itu anak laki-laki keturunan Datu Galapang tidak akan menikahi perempuan keturunan Klan Naibaho, dan sebaliknnya anak perempuan keturunan Datu Galapang, tidak boleh dinikahi laki-laki keturunan Klan Naibaho. Demikian peristiwa itu terjadi, sehingga padan antara Lumbantoruan dengan Naibaho kemudian tercipta.


CATATAN


Sebelumnya kami mohon maaf untuk setiap orang, khususnya keturunan Sihombing Lumbantoruan dan Si Raja Naibaho, terkait dengan tidak tercapainya nilai kesempurnaan artikel di atas dalam menempatkan sisi kebenaran ceritanya, sesuai dengan harapan setiap orang. Hal ini kami sampaikan, mengingat ada beberapa versi tentang sumpah (padan – red) yang beredar di tengah masyarakat, termasuk diantaranya dalam komunitas kedua marga itu sendiri.


Dari berbagai cerita yang kami himpun, pada dasarnya cerita yang masuk, semua menggaris bawahi balas jasa sebagai inti dari cerita, sama halnya dengan cerita yang kami sajikan dalam artikel di atas. Terlepas dari alur yang berbeda, kami berharap semua orang dapat memahaminya, sebab kami melakukan ini hanya karena rasa kagum atas kekayaan cerita rakyat Batak, yang melegenda hingga ke manca negara.


SALAM GEMILANG

Senin, 04 Mei 2015

SILABAN DAN HUTABARAT



Dahulu pada zamannya, di sebuah tempat di wilayah Tapanuli (Humbang Hasundutan-2016), tinggallah seorang laki-laki yang kemudian diketahui bernama SAKKAR TOBA SILABAN. Pria ini adalah sosok utama, yang menjadikan Silaban dan Hutabarat terikat pada sebuah PADAN (ikrar/sumpah - red), sehingga kedua marga itu tidak saling kawin hingga saat ini.


Konon katanya, Sakkar Toba adalah anak semata wayang, yang tumbuh sebagai anak yatim piatu. Sejak kecil, ia hidup tanpa kedua orang tuanya, karena ayah dan ibunya mati dibunuh, saat Sakkar Toba terbilang masih sangat kecil . Oleh karena itu, mau tidak mau ia harus hidup dengan orang lain, dan akhirnya ia berada dalam asuhan pamannya, yang bernama Datu Mangambe atau Datu Mangambit.

Datu Mangambe adalah salah satu adik dari Datu Bira, dan salah satu yang lain  adalah Datu Guluan. Mereka tiga bersaudara, berayahkan Borsak Jungjungan Silaban. Ketiga kakak beradik ini cukup dikenal ditengah masyarakat sebagai figur yang memiliki keahlian, dan masing-masing memiliki keahlian yang berbeda-beda, sesuai dengan gelar yang mereka miliki sebagai datu (tabib). 

Sepeninggal kakaknya, Datu Mangambe sungguh menaruh rasa iba kepada Sakkar Toba keponakannya, yang harus menjalani hidup tanpa ayah dan ibu sejak dari kecil. Melihat situasi yang menimpa keponakannya itu, Datu Mangambe kemudian menaikkan ikrar di hadapan jenazah kakaknya, bahwa ia tidak akan menikah sebelum keponakannya Sakkar Toba menikah dan akan mendampingi Sakkar Toba tumbuh hingga dewasa.

Menurut cerita, Datu Mangambe memang sungguh-sungguh menepati janji itu dan melaksanakan ikrarnya sesuai dengan apa yang telah ia ucapkan saat berada dihadapan jenazah kakaknya Datu Bira ayah Sakkar Toba. Ia membesarkan Sakkar Toba dengan penuh kasih sayang, hingga Sakkar Toba benar-benar tumbuh menjadi dewasa.

Setelah Sakkar Toba dewasa, Datu Mangambe kemudian memberi sinyal kepada Sakkar Toba, supaya segera mencari wanita untuk ia jadikan istri. Datu Mangambe memiliki alasan yang kuat untuk melakukan itu, agar keturunan kakandanya Datu Bira terus tumbuh dan berkelanjutan.

Tentu saja Sakkar Toba menolak permintaan pamannya Datu Mangambe saat itu. Sakkar Toba melakukan itu bukan tanpa alasan, bukan pula karena tidak mengindahkan perintah pamannya Datu Mangambe. Tetapi semua itu ia lakukan, karena ia sendiri melihat pamannya Datu Mangambe masih melajang.

Tetapi setelah mendapat penjelasan dari pamannya Datu Mangambe, bagaimana pada masa silam ia berikrar dihadapan jenazah ayahnya Datu Bira, barulah Sakkar Toba mengerti. Setelah memahami dengan sungguh, apa yang telah terjadi pada masa lalu antara pamannya Datu Mangambe dengan ayahnya Datu Bira, kemudian Sakkar Toba segera mempersiapkan segala kebutuhan untuk sebuah perjalanan, untuk segera melaksanakan perintah pamannya Datu Mangambe.

Dengan rasa sedih, Sakkar Toba pamit kepada pamannya Datu Mangambe. Ia merasa terharu, sebab hanya untuk dirinya, pamannya rela tidak menikah hingga usianya  jauh melebihi usia layak menikah. Sakkar Toba bersujud dihadapan pamannya Datu Mangambe, mohon doa restu lalu pergi.

Dengan semangat yang besar, termotivasi oleh pengorbanan pamannya, kemudian Sakkar Toba melangkah meninggalkan pamannya Datu Mangambe di kampung halaman, menuju ke arah selatan dengan harapan ia akan menemukan tambatan hati, seorang wanita yang kelak menjadi pendamping hidup dan menjadi ibu dari anak-anaknya.

Cukup lama Sakkar Toba berjalan, barulah ia bisa mencapai sebuah daerah, yang oleh orang setempat disebut Rura Silindung. Untuk mencapai tempat itu, Sakkar Toba harus menghabiskan beberapa hari di perjalanan dan menghabiskan cukup banyak persediaan makanan yang ia bawa sebagai bekal di perjalanan.

Tetapi perjalanan panjang yang cukup melelahkan itu, ternyata tidak sia-sia. Nun jauh di ujung sana, Sakkar Toba dapat melihat kepulan asap putih menjulang ke angkasa, pertanda di dekat situ ada pemukiman warga, dan dengan demikian perjalanannya tidak lama lagi akan segera sampai.

Mengingat tempat yang ia tuju sudah berada di depan mata, Sakkar Toba mempercepat langkahnya, dengan harapan ia bisa sampai lebih cepat.  Tiba-tiba Sakkar Toba mendengar suara ANDUNG (menangis sembari bersenandung) dari seorang wanita, yang menandakan bahwa sedang terjadi peristiwa duka, pada seseorang yang menjadi sumber suara itu.

Karena penasaran, Sakkar Toba memperlambat langkahnya dan berusaha mencari sumber suara itu. Setelah memastikan arah dari sumber suara itu, kemudian Sakkar Toba melangkah dengan pasti, dengan harapan, langkahnya adalah langkah yang sudah tepat. Semakin kaki Sakkar Toba melangkah, semakin dekat suara andung dan betul suara itu berasal dari seorang wanita.

Kemudian Sakkar Toba melihat sebuah dangau (gubuk) berdiri tinggi, tempat darimana sumber suara itu berasal. Lalu dengan perlahan penuh kewaspadaan Sakkar Toba menaiki dangau itu, dan Sakkar Toba tertegun melihat seorang wanita muda duduk sendirian tengah menangis sembari bersenandung. Setelah memperkenalkan diri lalu Sakkar Toba Silaban bertanya kepada wanita itu, siapa gerangan wanita itu dan kenapa sampai menangis hingga wanita itu meratap seduka itu.

Dari penuturan wanita itu, kemudian Sakkar Toba tau, bahwa wanita itu adalah Boru Pasaribu yang meratapi kematian suaminya Si Hutabarat, setelah meregang nyawa dicabik-cabik oleh seekor Babi Hutan (aili marhasaktian), dimana binatang itu diceritakan memiliki kalung magis (ranteni aili - red) yang membuatnya menjadi kuat melebihi kekuatan semestinya.

Ketika Sakkar Toba bertanya kepada Boru Pasaribu mengapa tidak segera pulang untuk memberitahukan peristiwa itu kepada warga sekampung. Ia beritahukan bahwa, ia bertahan di dangau karena tidak berani turun, khawatir babi hutan itu masih menunggunya dibawah dangau. Itulah sebabnya ia menangis (mangandung) dengan keras, dengan harapan ada seseorang yang melintas, dan mendengar suara andungnya. Dan bersyukur, karena Sakkar Toba kebetulan melintas di sekitar dangau.

Kemudian Sakkar Toba menawarkan jasa untuk menghantar Boru Pasaribu pulang ke rumahnya. Rupanya tawaran itu disambut dengan senang hati oleh Boru Pasaribu, dan tak lama kemudian, mereka tiba di rumah Boru Pasaribu, dan melihat mereka berdua, warga sekampung kemudian berdatangan ke rumah Boru Pasaribu, mereka ingin tau siapa gerangan pria bersama Boru Pasaribu yang jelas-jelas bukan suaminya.

Melihat ekspresi kecurigaan yang tampak di wajah para warga, lalu Sakkar Toba memperkenalkan diri, dan menceriterakan peristiwa yang baru saja menimpa Boru Pasaribu. Seterusnya, Sakkar Toba menuturkan itulah alasan, mengapa mereka bisa berjalan bersama pulang ke kampung itu. Mendengar penuturan Sakkar Toba, dan dibenarkan oleh Boru Pasaribu, barulah warga kampung itu memahami persoalan yang telah terjadi.

Kemudian Boru Pasaribu mengungkapkan pernyataan berupa sayembara, bahwa barang siapa yang mampu membunuh babi hutan itu, dan membawa kepala binatang liar itu kehadapannya, maka apapun yang ada di dalam rumah Boru Pasaribu boleh diambil untuk mereka miliki. Boru Pasaribu menyatakan ungkapan berupa sayembara itu dihadapan penduduk desa, dan siapa saja yang hadir pada saat itu, termasuk Sakkar Toba.

Setelah cukup bertutur kata, lalu Sakkar Toba pamit dan pergi menuju tempat dimana perkelahian antara Si Hutabarat (suami Boru Pasaribu) dengan babi hutan itu berlangsung, hingga merenggut nyawa Si Hutabarat. Entah apa yang berkecamuk dalam pikiran Sakkar Toba saat itu, tapi yang jelas (menurut cerita), setelah mendengar pernyataan Boru Pasaribu, Sakkar Toba  segera pergi.

Tanpa kesulitan, Sakkar Toba akhirnya menemukan babi huta itu sedang berkubang (margulu-red). Secara perlahan ia berusaha mendekati binatang itu dengan mengendap-endap, untuk memastikan bahwa yang sedang berkubang itu benar-benar babi hutan yang telah membunuh Si Hutabarat. Disisi lain, babi hutan yang tengah asyik membasahi tubuhnya di kubangan, tidak menyadari bahwa ia sedang di awasi oleh seseorang. Hal itu hanya bisa terjadi, karena memang Sakkar Toba memiliki kemampuan lebih, sehingga ia tidak diketahui sang babi hutan, tengah mengawasinya dengan jarak begitu dekat. 

Dengan sangat hati-hati Sakkar Toba mengamati situasi, mencari tau dimana binatang itu menaruh kalung yang diceritakan memiliki kekuatan magis itu. Dan dengan mudah mata Sakkar Toba menemukan kalung itu, yang tergantung di sebuah tunggul, tak jauh dari tempat dimana binatang itu berkubang. Menurut cerita, kalung itu tidak boleh kena air. Jika sampai kena air kekuatan magis kalung itu akan hilang dengan sendirinya. Karena itu, setiap binatang itu berkubang, kalung itu selalu dilepas, dan diletakkan ditempat yang jauh dari kemungkinan kena air. 

Dengan perlahan, Sakkar Toba berusaha bergeser dari tempat dimana ia bersembunyi. Dan dengan membawa sebatang bambu panjang yang kecil, ia berusaha menaiki sebuah pohon yang berada tidak jauh dari tunggul dimana binatang itu menempatkan kalungnya. 

Dari atas pohon, Sakkar Toba berusaha meraih kalung itu dengan menggunakan sebatang bambu yang ia bawa. Sakkar Toba mengait kalung itu dari atas pohon, menariknya dengan perlahan hingga akhirnya berada ditangannya. Setelah kalung ia dapatkan, kemudian oleh Sakkar Toba kalung itu dikenakan dilehernya, lalu turun dari pohon tempat dari mana ia mengait kalung itu dan menghampiri binatang yang sedang berkubang itu. 

Dengan kepercayaan diri yang sangat tinggi, Sakkar Toba berdiri di tepi kubangan. Tentu saja binatang itu kaget bukan kepalang, mengetahui seorang manusia ada di dekatnya. Bergegas binatang itu keluar dari kubangan dan berusaha untuk meraih kalung yang olehnya ditempatkan diatas sebatang tunggul, tapi sayang kalung itu sudah tidak berada di tempatnya. Dengan amarah yang tak terkendali, binatang itu mengejar Sakkar Toba lalu menyeruduknya, berusaha untuk membunuh. 

Tetapi situasi sudah berubah, tanpa kalung yang berkekuatan magis, binatang itu sudah tidak memiliki kekuatan lebih, sebaliknya Sakkar Toba malah semakin kuat tak tertandingi karena telah mengenakan kalung magis itu dilehernya. Dengan mudah Sakkar Toba mengalahkan binatang itu, dan setelah memastikan binatang itu sudah tak bernyawa, lalu dengan geram, Sakkar Toba menyembelih leher babi hutan itu hingga putus . Kemudian ia membawa kepala binatang itu kehadapan Boru Pasaribu, dan seluruh warga desa.

Tetapi warga desa tidak percaya begitu saja kepada Sakkar Toba. Mereka beranggapan, tidak mungkin Sakkar Toba bisa melakukan itu begitu mudah, dan dalam waktu yang singkat pula. Mereka tidak tau, bahwa Sakkar Toba adalah seorang pria yang memiliki kemampuan diluar kemampuan manusia pada umumnya. Keahlian itu ia dapat, setelah ia berguru cukup lama dan mendapat ilmu dari  pamannya Datu Mangambe.

Untuk membuktikan bahwa Sakkar Toba sungguh telah membunuh binatang liar itu, lalu warga desa bersama Sakkar Toba sepakat untuk mendatangi tempat dimana Sakkar Toba melumpuhkan babi hutan itu. Setibanya di tempat dimana peristiwa itu terjadi, penduduk desa melihat binatang itu telah terkulai tak bernyawa. Lalu penduduk desa membedah binatang itu, mencabik-cabiknya hingga menjadi potongan-potongan kecil.

Pada saat membedah dan memotong-motong bagian perut binatang liar itu, salah seorang warga menemukan sebuah cincin dari usus binatang itu. Kemudian cincin tersebut ditunjukkan kepada Boru Pasaribu, barangkali cincin itu adalah salah satu milik dari Si Hutabarat. Melihat cincin itu, Boru Pasaribu menjadi sedih dan kembali menangis. Dalam andungnya (tangisnya), Boru Pasaribu menyatakan memang benar bahwa cincin itu adalah milik suaminya Si Hutabarat.

Selesai sudah keraguan warga desa kepada Sakkar Toba. Penemuan cincin dari usus  aili (babi hutan- red), sudah cukup untuk dijadikan bukti, bahwa binatang itulah yang menyeruduk Si Hutabarat hingga tewas dan memakan seluruh tubuhnya. Kemudian seluruh warga desa bersama Sakkar Toba meninggalkan begitu saja bangkai binatang itu berserakan, tanpa menguburkannya terlebih dahulu, dan kembali ke desa.

Setibanya di rumah, Boru Pasaribu kemudian mengucapkan terimakasih kepada Sakkar Toba, seraya mempersilahkan Sakkar Toba untuk mengambil apa saja yang ada di dalam rumah Boru Pasaribu, sebagai balas jasa untuk menepati janji yang telah ia ucapkan sebelumnya. Alangkah kagetnya Boru Pasaribu, sebab Sakkar Toba tidak meminta apapun dari isi rumahnya, selain diri Boru Pasaribu sendiri. Boru Pasaribu tak pernah menduga, jika Sakkar Toba malah meminta dirinya sendiri untuk ia jadikan sebagai pendamping hidupnya.

Situasi di dalam rumah menjadi hening mencekam. Semua warga yang hadir di rumah Boru Pasaribu tidak menduga jika Sakkar Toba meminta Boru Pasaribu untuk diambil menjadi miliknya. Tentu saja warga desa keberatan dengan pilihan Sakkar Toba. Warga desa yang terbilang didiami warga satu rumpun marga serupa dengan marga suami Boru Pasaribu, tentu punya alasan yang tepat untuk menaruh keberatan, jika istri kerabatnya yang tengah mengandung harus dipersunting orang lain, yang berasal dari marga yang berbeda pula.

Tetapi janji telah diucapkan. Dimana, barang siapa yang mampu membunuh binatang itu, dan membawa kepala binatang tersebut kehadapan Boru Pasaribu, maka apapun yang ada di dalam rumah Boru Pasaribu boleh diambil untuk dimiliki oleh siapapun yang berhasil membunuh babi hutan itu. Boru Pasaribu tidak membuat satupun pengecualian saat mengucapkan pernyataan berupa sayembara. Ia sendiri adalah salah satu isi dan menjadi bagian dari rumahnya sendiri. Tentu, iapun adalah salah satu bagian dari yang disayembarakan.

Warga Desa dan Pemangku Adat tidak bisa berkelit lagi, dan akhirnya menyerahkan sepenuhnya kepada Boru Pasaribu untuk mengambil keputusan. Sesungguhnya, Boru Pasaribu sengaja tidak membuat pengecualian saat mengucap sayembara, dengan harapan, Sakkar Toba mampu menjadi pemenang pada sayembara itu, dan saat meminta hadiah sayembara ia berharap Sakkar Toba meminta dirinya sebagai balas jasa. Pucuk dicinta ulampun tiba. Rupanya Yang Maha Kuasa mengabulkan semua harapan Boru Pasaribu, dan Sakkar Toba meminta dirinya sebagai balas jasa.

Setelah Warga Desa dan Pemangku Adat menyerahkan sepenuhnya kepada Boru Pasaribu untuk mengambil keputusan, dan ia memutuskan untuk menyanggupi permintaan Sakkar Toba. Hanya saja, Boru Pasaribu mengajukan persyaratan, bahwa Sakkar Toba tidak boleh menggauli Boru Pasaribu sebagaimana lazimnya pasangan suami istri, sepanjang wanita itu mengandung benih Si Hutabarat yang pada saat itu sedang berada dalam rahimnya. Untuk hal itu, Sakkar Toba tidak keberatan dan beberapa saat kemudian, ia dan Boru Pasaribu diresmikan menjadi Pasangan Suami Istri.

Setelah peristiwa itu, Boru Pasaribu kemudian melahirkan anak yang ia kandung atas perkawinannya dengan almarhum Si Hutabarat, yang kemudian diberi nama SAKKAR PANGURURAN. Lalu beberapa tahun berselang, dari perkawinannya dengan Sakkar Toba, Boru Pasaribu melahirkan beberapa orang anak, diantaranya dua orang anak laki-laki, yang dikemudian hari diberi nama MARTIANG OMAS dan TUAN SAMPULU

Sakkar Pangururan tumbuh dan berkembang bersama kedua adiknya, tumbuh besar dalam rumah yang sama, namun Sakkar Pangururan beda marga dari kedua adiknya. Sakkar Pangururan bermarga Hutabarat, sementara kedua adiknya marganya Silaban. Menyadari itu, lalu muncul kekhawatiran kalau kelak dikemudian hari keturunan tiga bersaudara itu akan saling menikah satu sama lain. Sebab dengan marga yang berbeda, tanpa sebuah ikatan janji kemungkinan untuk saling kawin dikemudian hari sangat besar peluang terjadinya.

Berangkat dari kekhawatiran itu, setelah ketiga bersaudara itu beranjak semakin dewasa, kemudian Sakkar Toba dan Boru Pasaribu sebagai orang tua, di hadapan ketiga anaknya membuat sebuah PADAN (ikrar - read) sebagai ikatan, bahwa keturunan Sakkar Toba Silaban dan Sakkar Pangururan Hutabarat, tidak diperkenankan untuk saling menikah. Dan sejak saat itu, padan berlaku hingga sekarang.



Beberapa tahun berselang, setelah ketiga putranya menanjak semakin dewasa, Sakkar Toba membawa anak dan istri berkunjung ke kampung halamannya. Setiba disana, pamannya Datu Mangambe terkejut bercampur bahagia, melihat keponakannya datang bukan hanya bersama istri, tetapi ia datang juga bersama anak-anaknya. Kebahagiaan Datu Mangambe semakin membahana, mengingat ikrar dengan kakandanya Datu Bira telah terlaksana dengan baik. Setelah itu, Datu Mangambe kemudian melepas ikatan ikrar, lalu menikah beberapa kali, dengan maksud untuk mengejar ketertinggalan dirinya, dari sisi jumlah dan silsilah keturunan.

Catatan :

Melalui media ini kami mau mengatakan, jika ada pro dan kontra Silaban mana dan Hutabarat mana yang berkaitan dengan padan itu, terpulang kepada semua pihak sebagai keturunan Silaban dan Hutabarat, sebab dengan tulisan ini sesungguhnya semua sudah jelas. Dan perlu kami sampaikan juga, berpuluh tahun yang lalu telah diadakan sebuah pertemuan akbar, yang telah melahirkan sebuah kesepakatan yang berbunyi : PADANNI ANGGINADO PADANNI HAHANA. (Ikrar kakaknya, tentu juga ikrar adiknya)

Dengan demikian, tidak ada lagi pengecualian antara SIAPA dengan SIAPA, lalu tidak ada lagi MENGAPA dan BAGAIMANA, singkat cerita " SILABAN & HUTABARAT " adalah dua marga yang telah terikat oleh " PADAN ". Namun sekali lagi, semua berpulang kepada diri sendiri, bagaimana seorang pinompar menghargai kesepakatan yang sudah ditetapkan.


HORAS … SALAM GEMILANG