Senin, 04 Mei 2015

SILABAN DAN HUTABARAT



Dahulu pada zamannya, di sebuah tempat di wilayah Tapanuli (Humbang Hasundutan-2016), tinggallah seorang laki-laki yang kemudian diketahui bernama SAKKAR TOBA SILABAN. Pria ini adalah sosok utama, yang menjadikan Silaban dan Hutabarat terikat pada sebuah PADAN (ikrar/sumpah - red), sehingga kedua marga itu tidak saling kawin hingga saat ini.


Konon katanya, Sakkar Toba adalah anak semata wayang, yang tumbuh sebagai anak yatim piatu. Sejak kecil, ia hidup tanpa kedua orang tuanya, karena ayah dan ibunya mati dibunuh, saat Sakkar Toba terbilang masih sangat kecil . Oleh karena itu, mau tidak mau ia harus hidup dengan orang lain, dan akhirnya ia berada dalam asuhan pamannya, yang bernama Datu Mangambe atau Datu Mangambit.

Datu Mangambe adalah salah satu adik dari Datu Bira, dan salah satu yang lain  adalah Datu Guluan. Mereka tiga bersaudara, berayahkan Borsak Jungjungan Silaban. Ketiga kakak beradik ini cukup dikenal ditengah masyarakat sebagai figur yang memiliki keahlian, dan masing-masing memiliki keahlian yang berbeda-beda, sesuai dengan gelar yang mereka miliki sebagai datu (tabib). 

Sepeninggal kakaknya, Datu Mangambe sungguh menaruh rasa iba kepada Sakkar Toba keponakannya, yang harus menjalani hidup tanpa ayah dan ibu sejak dari kecil. Melihat situasi yang menimpa keponakannya itu, Datu Mangambe kemudian menaikkan ikrar di hadapan jenazah kakaknya, bahwa ia tidak akan menikah sebelum keponakannya Sakkar Toba menikah dan akan mendampingi Sakkar Toba tumbuh hingga dewasa.

Menurut cerita, Datu Mangambe memang sungguh-sungguh menepati janji itu dan melaksanakan ikrarnya sesuai dengan apa yang telah ia ucapkan saat berada dihadapan jenazah kakaknya Datu Bira ayah Sakkar Toba. Ia membesarkan Sakkar Toba dengan penuh kasih sayang, hingga Sakkar Toba benar-benar tumbuh menjadi dewasa.

Setelah Sakkar Toba dewasa, Datu Mangambe kemudian memberi sinyal kepada Sakkar Toba, supaya segera mencari wanita untuk ia jadikan istri. Datu Mangambe memiliki alasan yang kuat untuk melakukan itu, agar keturunan kakandanya Datu Bira terus tumbuh dan berkelanjutan.

Tentu saja Sakkar Toba menolak permintaan pamannya Datu Mangambe saat itu. Sakkar Toba melakukan itu bukan tanpa alasan, bukan pula karena tidak mengindahkan perintah pamannya Datu Mangambe. Tetapi semua itu ia lakukan, karena ia sendiri melihat pamannya Datu Mangambe masih melajang.

Tetapi setelah mendapat penjelasan dari pamannya Datu Mangambe, bagaimana pada masa silam ia berikrar dihadapan jenazah ayahnya Datu Bira, barulah Sakkar Toba mengerti. Setelah memahami dengan sungguh, apa yang telah terjadi pada masa lalu antara pamannya Datu Mangambe dengan ayahnya Datu Bira, kemudian Sakkar Toba segera mempersiapkan segala kebutuhan untuk sebuah perjalanan, untuk segera melaksanakan perintah pamannya Datu Mangambe.

Dengan rasa sedih, Sakkar Toba pamit kepada pamannya Datu Mangambe. Ia merasa terharu, sebab hanya untuk dirinya, pamannya rela tidak menikah hingga usianya  jauh melebihi usia layak menikah. Sakkar Toba bersujud dihadapan pamannya Datu Mangambe, mohon doa restu lalu pergi.

Dengan semangat yang besar, termotivasi oleh pengorbanan pamannya, kemudian Sakkar Toba melangkah meninggalkan pamannya Datu Mangambe di kampung halaman, menuju ke arah selatan dengan harapan ia akan menemukan tambatan hati, seorang wanita yang kelak menjadi pendamping hidup dan menjadi ibu dari anak-anaknya.

Cukup lama Sakkar Toba berjalan, barulah ia bisa mencapai sebuah daerah, yang oleh orang setempat disebut Rura Silindung. Untuk mencapai tempat itu, Sakkar Toba harus menghabiskan beberapa hari di perjalanan dan menghabiskan cukup banyak persediaan makanan yang ia bawa sebagai bekal di perjalanan.

Tetapi perjalanan panjang yang cukup melelahkan itu, ternyata tidak sia-sia. Nun jauh di ujung sana, Sakkar Toba dapat melihat kepulan asap putih menjulang ke angkasa, pertanda di dekat situ ada pemukiman warga, dan dengan demikian perjalanannya tidak lama lagi akan segera sampai.

Mengingat tempat yang ia tuju sudah berada di depan mata, Sakkar Toba mempercepat langkahnya, dengan harapan ia bisa sampai lebih cepat.  Tiba-tiba Sakkar Toba mendengar suara ANDUNG (menangis sembari bersenandung) dari seorang wanita, yang menandakan bahwa sedang terjadi peristiwa duka, pada seseorang yang menjadi sumber suara itu.

Karena penasaran, Sakkar Toba memperlambat langkahnya dan berusaha mencari sumber suara itu. Setelah memastikan arah dari sumber suara itu, kemudian Sakkar Toba melangkah dengan pasti, dengan harapan, langkahnya adalah langkah yang sudah tepat. Semakin kaki Sakkar Toba melangkah, semakin dekat suara andung dan betul suara itu berasal dari seorang wanita.

Kemudian Sakkar Toba melihat sebuah dangau (gubuk) berdiri tinggi, tempat darimana sumber suara itu berasal. Lalu dengan perlahan penuh kewaspadaan Sakkar Toba menaiki dangau itu, dan Sakkar Toba tertegun melihat seorang wanita muda duduk sendirian tengah menangis sembari bersenandung. Setelah memperkenalkan diri lalu Sakkar Toba Silaban bertanya kepada wanita itu, siapa gerangan wanita itu dan kenapa sampai menangis hingga wanita itu meratap seduka itu.

Dari penuturan wanita itu, kemudian Sakkar Toba tau, bahwa wanita itu adalah Boru Pasaribu yang meratapi kematian suaminya Si Hutabarat, setelah meregang nyawa dicabik-cabik oleh seekor Babi Hutan (aili marhasaktian), dimana binatang itu diceritakan memiliki kalung magis (ranteni aili - red) yang membuatnya menjadi kuat melebihi kekuatan semestinya.

Ketika Sakkar Toba bertanya kepada Boru Pasaribu mengapa tidak segera pulang untuk memberitahukan peristiwa itu kepada warga sekampung. Ia beritahukan bahwa, ia bertahan di dangau karena tidak berani turun, khawatir babi hutan itu masih menunggunya dibawah dangau. Itulah sebabnya ia menangis (mangandung) dengan keras, dengan harapan ada seseorang yang melintas, dan mendengar suara andungnya. Dan bersyukur, karena Sakkar Toba kebetulan melintas di sekitar dangau.

Kemudian Sakkar Toba menawarkan jasa untuk menghantar Boru Pasaribu pulang ke rumahnya. Rupanya tawaran itu disambut dengan senang hati oleh Boru Pasaribu, dan tak lama kemudian, mereka tiba di rumah Boru Pasaribu, dan melihat mereka berdua, warga sekampung kemudian berdatangan ke rumah Boru Pasaribu, mereka ingin tau siapa gerangan pria bersama Boru Pasaribu yang jelas-jelas bukan suaminya.

Melihat ekspresi kecurigaan yang tampak di wajah para warga, lalu Sakkar Toba memperkenalkan diri, dan menceriterakan peristiwa yang baru saja menimpa Boru Pasaribu. Seterusnya, Sakkar Toba menuturkan itulah alasan, mengapa mereka bisa berjalan bersama pulang ke kampung itu. Mendengar penuturan Sakkar Toba, dan dibenarkan oleh Boru Pasaribu, barulah warga kampung itu memahami persoalan yang telah terjadi.

Kemudian Boru Pasaribu mengungkapkan pernyataan berupa sayembara, bahwa barang siapa yang mampu membunuh babi hutan itu, dan membawa kepala binatang liar itu kehadapannya, maka apapun yang ada di dalam rumah Boru Pasaribu boleh diambil untuk mereka miliki. Boru Pasaribu menyatakan ungkapan berupa sayembara itu dihadapan penduduk desa, dan siapa saja yang hadir pada saat itu, termasuk Sakkar Toba.

Setelah cukup bertutur kata, lalu Sakkar Toba pamit dan pergi menuju tempat dimana perkelahian antara Si Hutabarat (suami Boru Pasaribu) dengan babi hutan itu berlangsung, hingga merenggut nyawa Si Hutabarat. Entah apa yang berkecamuk dalam pikiran Sakkar Toba saat itu, tapi yang jelas (menurut cerita), setelah mendengar pernyataan Boru Pasaribu, Sakkar Toba  segera pergi.

Tanpa kesulitan, Sakkar Toba akhirnya menemukan babi huta itu sedang berkubang (margulu-red). Secara perlahan ia berusaha mendekati binatang itu dengan mengendap-endap, untuk memastikan bahwa yang sedang berkubang itu benar-benar babi hutan yang telah membunuh Si Hutabarat. Disisi lain, babi hutan yang tengah asyik membasahi tubuhnya di kubangan, tidak menyadari bahwa ia sedang di awasi oleh seseorang. Hal itu hanya bisa terjadi, karena memang Sakkar Toba memiliki kemampuan lebih, sehingga ia tidak diketahui sang babi hutan, tengah mengawasinya dengan jarak begitu dekat. 

Dengan sangat hati-hati Sakkar Toba mengamati situasi, mencari tau dimana binatang itu menaruh kalung yang diceritakan memiliki kekuatan magis itu. Dan dengan mudah mata Sakkar Toba menemukan kalung itu, yang tergantung di sebuah tunggul, tak jauh dari tempat dimana binatang itu berkubang. Menurut cerita, kalung itu tidak boleh kena air. Jika sampai kena air kekuatan magis kalung itu akan hilang dengan sendirinya. Karena itu, setiap binatang itu berkubang, kalung itu selalu dilepas, dan diletakkan ditempat yang jauh dari kemungkinan kena air. 

Dengan perlahan, Sakkar Toba berusaha bergeser dari tempat dimana ia bersembunyi. Dan dengan membawa sebatang bambu panjang yang kecil, ia berusaha menaiki sebuah pohon yang berada tidak jauh dari tunggul dimana binatang itu menempatkan kalungnya. 

Dari atas pohon, Sakkar Toba berusaha meraih kalung itu dengan menggunakan sebatang bambu yang ia bawa. Sakkar Toba mengait kalung itu dari atas pohon, menariknya dengan perlahan hingga akhirnya berada ditangannya. Setelah kalung ia dapatkan, kemudian oleh Sakkar Toba kalung itu dikenakan dilehernya, lalu turun dari pohon tempat dari mana ia mengait kalung itu dan menghampiri binatang yang sedang berkubang itu. 

Dengan kepercayaan diri yang sangat tinggi, Sakkar Toba berdiri di tepi kubangan. Tentu saja binatang itu kaget bukan kepalang, mengetahui seorang manusia ada di dekatnya. Bergegas binatang itu keluar dari kubangan dan berusaha untuk meraih kalung yang olehnya ditempatkan diatas sebatang tunggul, tapi sayang kalung itu sudah tidak berada di tempatnya. Dengan amarah yang tak terkendali, binatang itu mengejar Sakkar Toba lalu menyeruduknya, berusaha untuk membunuh. 

Tetapi situasi sudah berubah, tanpa kalung yang berkekuatan magis, binatang itu sudah tidak memiliki kekuatan lebih, sebaliknya Sakkar Toba malah semakin kuat tak tertandingi karena telah mengenakan kalung magis itu dilehernya. Dengan mudah Sakkar Toba mengalahkan binatang itu, dan setelah memastikan binatang itu sudah tak bernyawa, lalu dengan geram, Sakkar Toba menyembelih leher babi hutan itu hingga putus . Kemudian ia membawa kepala binatang itu kehadapan Boru Pasaribu, dan seluruh warga desa.

Tetapi warga desa tidak percaya begitu saja kepada Sakkar Toba. Mereka beranggapan, tidak mungkin Sakkar Toba bisa melakukan itu begitu mudah, dan dalam waktu yang singkat pula. Mereka tidak tau, bahwa Sakkar Toba adalah seorang pria yang memiliki kemampuan diluar kemampuan manusia pada umumnya. Keahlian itu ia dapat, setelah ia berguru cukup lama dan mendapat ilmu dari  pamannya Datu Mangambe.

Untuk membuktikan bahwa Sakkar Toba sungguh telah membunuh binatang liar itu, lalu warga desa bersama Sakkar Toba sepakat untuk mendatangi tempat dimana Sakkar Toba melumpuhkan babi hutan itu. Setibanya di tempat dimana peristiwa itu terjadi, penduduk desa melihat binatang itu telah terkulai tak bernyawa. Lalu penduduk desa membedah binatang itu, mencabik-cabiknya hingga menjadi potongan-potongan kecil.

Pada saat membedah dan memotong-motong bagian perut binatang liar itu, salah seorang warga menemukan sebuah cincin dari usus binatang itu. Kemudian cincin tersebut ditunjukkan kepada Boru Pasaribu, barangkali cincin itu adalah salah satu milik dari Si Hutabarat. Melihat cincin itu, Boru Pasaribu menjadi sedih dan kembali menangis. Dalam andungnya (tangisnya), Boru Pasaribu menyatakan memang benar bahwa cincin itu adalah milik suaminya Si Hutabarat.

Selesai sudah keraguan warga desa kepada Sakkar Toba. Penemuan cincin dari usus  aili (babi hutan- red), sudah cukup untuk dijadikan bukti, bahwa binatang itulah yang menyeruduk Si Hutabarat hingga tewas dan memakan seluruh tubuhnya. Kemudian seluruh warga desa bersama Sakkar Toba meninggalkan begitu saja bangkai binatang itu berserakan, tanpa menguburkannya terlebih dahulu, dan kembali ke desa.

Setibanya di rumah, Boru Pasaribu kemudian mengucapkan terimakasih kepada Sakkar Toba, seraya mempersilahkan Sakkar Toba untuk mengambil apa saja yang ada di dalam rumah Boru Pasaribu, sebagai balas jasa untuk menepati janji yang telah ia ucapkan sebelumnya. Alangkah kagetnya Boru Pasaribu, sebab Sakkar Toba tidak meminta apapun dari isi rumahnya, selain diri Boru Pasaribu sendiri. Boru Pasaribu tak pernah menduga, jika Sakkar Toba malah meminta dirinya sendiri untuk ia jadikan sebagai pendamping hidupnya.

Situasi di dalam rumah menjadi hening mencekam. Semua warga yang hadir di rumah Boru Pasaribu tidak menduga jika Sakkar Toba meminta Boru Pasaribu untuk diambil menjadi miliknya. Tentu saja warga desa keberatan dengan pilihan Sakkar Toba. Warga desa yang terbilang didiami warga satu rumpun marga serupa dengan marga suami Boru Pasaribu, tentu punya alasan yang tepat untuk menaruh keberatan, jika istri kerabatnya yang tengah mengandung harus dipersunting orang lain, yang berasal dari marga yang berbeda pula.

Tetapi janji telah diucapkan. Dimana, barang siapa yang mampu membunuh binatang itu, dan membawa kepala binatang tersebut kehadapan Boru Pasaribu, maka apapun yang ada di dalam rumah Boru Pasaribu boleh diambil untuk dimiliki oleh siapapun yang berhasil membunuh babi hutan itu. Boru Pasaribu tidak membuat satupun pengecualian saat mengucapkan pernyataan berupa sayembara. Ia sendiri adalah salah satu isi dan menjadi bagian dari rumahnya sendiri. Tentu, iapun adalah salah satu bagian dari yang disayembarakan.

Warga Desa dan Pemangku Adat tidak bisa berkelit lagi, dan akhirnya menyerahkan sepenuhnya kepada Boru Pasaribu untuk mengambil keputusan. Sesungguhnya, Boru Pasaribu sengaja tidak membuat pengecualian saat mengucap sayembara, dengan harapan, Sakkar Toba mampu menjadi pemenang pada sayembara itu, dan saat meminta hadiah sayembara ia berharap Sakkar Toba meminta dirinya sebagai balas jasa. Pucuk dicinta ulampun tiba. Rupanya Yang Maha Kuasa mengabulkan semua harapan Boru Pasaribu, dan Sakkar Toba meminta dirinya sebagai balas jasa.

Setelah Warga Desa dan Pemangku Adat menyerahkan sepenuhnya kepada Boru Pasaribu untuk mengambil keputusan, dan ia memutuskan untuk menyanggupi permintaan Sakkar Toba. Hanya saja, Boru Pasaribu mengajukan persyaratan, bahwa Sakkar Toba tidak boleh menggauli Boru Pasaribu sebagaimana lazimnya pasangan suami istri, sepanjang wanita itu mengandung benih Si Hutabarat yang pada saat itu sedang berada dalam rahimnya. Untuk hal itu, Sakkar Toba tidak keberatan dan beberapa saat kemudian, ia dan Boru Pasaribu diresmikan menjadi Pasangan Suami Istri.

Setelah peristiwa itu, Boru Pasaribu kemudian melahirkan anak yang ia kandung atas perkawinannya dengan almarhum Si Hutabarat, yang kemudian diberi nama SAKKAR PANGURURAN. Lalu beberapa tahun berselang, dari perkawinannya dengan Sakkar Toba, Boru Pasaribu melahirkan beberapa orang anak, diantaranya dua orang anak laki-laki, yang dikemudian hari diberi nama MARTIANG OMAS dan TUAN SAMPULU

Sakkar Pangururan tumbuh dan berkembang bersama kedua adiknya, tumbuh besar dalam rumah yang sama, namun Sakkar Pangururan beda marga dari kedua adiknya. Sakkar Pangururan bermarga Hutabarat, sementara kedua adiknya marganya Silaban. Menyadari itu, lalu muncul kekhawatiran kalau kelak dikemudian hari keturunan tiga bersaudara itu akan saling menikah satu sama lain. Sebab dengan marga yang berbeda, tanpa sebuah ikatan janji kemungkinan untuk saling kawin dikemudian hari sangat besar peluang terjadinya.

Berangkat dari kekhawatiran itu, setelah ketiga bersaudara itu beranjak semakin dewasa, kemudian Sakkar Toba dan Boru Pasaribu sebagai orang tua, di hadapan ketiga anaknya membuat sebuah PADAN (ikrar - read) sebagai ikatan, bahwa keturunan Sakkar Toba Silaban dan Sakkar Pangururan Hutabarat, tidak diperkenankan untuk saling menikah. Dan sejak saat itu, padan berlaku hingga sekarang.



Beberapa tahun berselang, setelah ketiga putranya menanjak semakin dewasa, Sakkar Toba membawa anak dan istri berkunjung ke kampung halamannya. Setiba disana, pamannya Datu Mangambe terkejut bercampur bahagia, melihat keponakannya datang bukan hanya bersama istri, tetapi ia datang juga bersama anak-anaknya. Kebahagiaan Datu Mangambe semakin membahana, mengingat ikrar dengan kakandanya Datu Bira telah terlaksana dengan baik. Setelah itu, Datu Mangambe kemudian melepas ikatan ikrar, lalu menikah beberapa kali, dengan maksud untuk mengejar ketertinggalan dirinya, dari sisi jumlah dan silsilah keturunan.

Catatan :

Melalui media ini kami mau mengatakan, jika ada pro dan kontra Silaban mana dan Hutabarat mana yang berkaitan dengan padan itu, terpulang kepada semua pihak sebagai keturunan Silaban dan Hutabarat, sebab dengan tulisan ini sesungguhnya semua sudah jelas. Dan perlu kami sampaikan juga, berpuluh tahun yang lalu telah diadakan sebuah pertemuan akbar, yang telah melahirkan sebuah kesepakatan yang berbunyi : PADANNI ANGGINADO PADANNI HAHANA. (Ikrar kakaknya, tentu juga ikrar adiknya)

Dengan demikian, tidak ada lagi pengecualian antara SIAPA dengan SIAPA, lalu tidak ada lagi MENGAPA dan BAGAIMANA, singkat cerita " SILABAN & HUTABARAT " adalah dua marga yang telah terikat oleh " PADAN ". Namun sekali lagi, semua berpulang kepada diri sendiri, bagaimana seorang pinompar menghargai kesepakatan yang sudah ditetapkan.


HORAS … SALAM GEMILANG

1 komentar: