Berawal dari hubungan asmara antara Raja
Inar Naiborngin Naibaho dengan saudari kembarnya Si Boru Naitang, peristiwa
besarpun kemudian terjadi. Dari hubungan cinta yang sangat terlarang itu, Raja
Inar Naiborngin dan saudari kembarnya Si Boru Naitang kemudian melahirkan
seorang putra, yang dikemudian hari anak itu diketahui bernama Sitindaon, yang
menjadi kakek moyang dari Klan (marga ) Sitindaon.
Karena perbuatan Raja Inar Naiborngin dengan saudari kembarnya Si Boru Naitang adalah perbuatan yang sangat memalukan, maka sanak saudara mereka bersama tetua kampung mengadakan pertemuan, untuk mencari hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepada kedua orang yang telah melanggar hukum adat itu.
Setelah menghabiskan waktu yang cukup panjang kemudian sanak saudara dan para tetua kampung memutuskan untuk menghukum mereka dengan seberat-beratnya, dimana Raja Inar Naiborngin dibuang ke hutan belantara dan Si Boru Naitang di tenggelamkan di tengah Danau Toba, dengan maksud supaya mereka berdua mati tak berbekas.
Diceritakan, Raja Inar Naiborngin akhirnya mampu melepaskan diri dan keluar dari hutan belantara dengan selamat, lalu bergerak menuju arah selatan dengan maksud menghindar dari kampung halamannya yang berada di sebelah utara. Sementara itu Si Boru Naitang akhirnya tenggelam di danau dan arwahnya menjadi roh penunggu disana.
Untuk menghindari hal yang buruk, kemudian
Raja Inar Naiborngin memutuskan untuk pergi merantau. Kepergian itu sebenarnya
sungguh tidak ia inginkan, tetapi peristiwa yang telah terjadi memaksanya untuk
melakukan itu. Raja Inar Naiborngin meninggalkan kampung halamannya tanpa
dibekali apapun. Ia hanya membekali diri dengan sebilah belati dan sekantong
tanah serta seguci kecil air.
Ia mengembara berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan maksud menghilangkan jejak dari usaha sanak saudaranya untuk melakukan pengejaran. Berpindah terus, rupanya membuat Raja Inar Naiborngin letih juga, lalu ia memutuskan untuk mencari tempat untuk bersembunyi sekaligus melakukan tapa, guna mempertajam ilmu yang ia miliki.
Setelah dirasa ilmu yang ada sudah cukup mapan, kemudia ia keluar dari pertapaan dan mengganti identitasnya menjadi seseorang yang bernama Datu Galapang, untuk menyamarkan identitas aslinya dari siapapun, khususnya dari sanak saudara dan warga desa tempat dari mana ia berasal.
Saking luasnya daerah yang telah ia
jelajahi, dan tak sedikit waktu yang telah ia lewatkan dalam pengembaraannya,
kemudian Datu Galapang juga oleh masyarakat diberi gelar Datu
Pangaranto (Tabib Pengembara), karena memang saat ia singgah pada satu
tempat dalam perjalanannya, ia memperkenalkan diri sebagai seorang tabib dan
hal itu ia buktikan dengan memberikan pengobatan kepada orang-orang sakit.
Perlu juga diceritakan bahwa disepanjang pengembaraannya, Datu Galapang juga tidak segan-segan menjajal kemampuan ilmunya, yang ia implementasikan dalam bentuk bantuan kepada warga desa yang ditindas oleh warga desa lain. Perbuatan itu menghantar Datu Galapang ke puncak popularitasnya, sehingga ia semakin dikenal di tengah masyarakat sebagai seseorang namarhasaktian (berilmu sakti - red).
Informasi kesaktian Datu Galapang rupanya
juga sampai ke wilayah pemukiman dimana Klan Lumbantoruan bermukim. Ompu
Raung Nabolon, bersama ketiga anaknya Ompu Hombar Najolo, Ompu Ginjang Manubung
dan Ompu Pande Namora, serta seluruh sanak saudaranya, saat itu tengah
berkonsentarsi menghadapi peperangan melawan serbuan dari Klan Marbun.
Pertempuran itu diceritakan berlangsung tidak seimbang, karena kemudian diketahui pihak Klan Marbun rupanya memiliki Pangulu Balang namarhasaktian (Panglima Perang sakti - red), yang menjadikan kekuatan Klan Marbun berada di atas kekuatan Ompu Raung Nabolon dan anak-anaknya, sehingga membuat Ompu Raung Nabolon semakin terdesak.
Mengetahui kekalahan sudah berada diambang pintu, Ompu Raung Nabolon berusaha untuk mencari tau sosok Datu Galapang, seseorang yang santer didengar sebagai orang yang sakti. Berbagai sumber didatangi untuk mendapat informasi yang akurat tentang kepastian dimana Datu Galapang berada.
Rupanya takdir telah ditentukan oleh Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Besar - red), agar Datu Galapang Sang Pengembara bertemu dengan Ompu Raung Nabolon. Pas ketika Klan Lumbantoruan membutuhkannya, perjalanan panjang Datu Galapang pas pula tiba di Lintong Ni Huta. Pucuk dicinta ulampun tiba, demikian kira-kira Ompu Raung Nabolon berpikir.
Mendengar Datu Galapang ada dekat dengan mereka, Ompu Raung Nabolon segera mendatangi, lalu menyampaikan maksud agar Datu Galapang membantu mereka dalam perang melawan Klan Marbun dan Panglima Perangnya, yang melakukan serangan ke wilayah pemukiman Ompu Raung Nabolon dimana ketiga anak dan seluruh warga desa sedang berkonsentrasi.
Tidak begitu sulit bagi Ompu Raung Nabolon
untuk mendapatkan persetujuan dari Datu Galapang, supaya ia membantu
mereka dalam perang melawan musuh. Namun dalam hal itu Datu Galapang mengajukan
syarat, agar Klan Lumbantoruan menyediakan sebuah rumah tinggal bagi Datu
Galapang, dari situ ia bisa mengatur strategi dengan tenang dan lebih leluasa.
Beberapa hari kemudian setelah berdiam diri
dalam rumah yang telah dipersiapkan Klan Lumbantoruan, Datu Galapang akhirnya
keluar. Ia mendatangi wilayah Klan Marbun seorang diri, untuk bertemu Panglima
Perangnya yang dikabarkan sangat kuat dan sakti mandra guna. Hal itu adalah
salah satu taktik perang, yang ia lakukan guna mengetahui kekuatan lawan.
Setelah tiba di tanah kekuasaan Klan Marbun,
Datu Galapang menaburkan tanah yang ia bawa dari kampung halamannya di atas
tanah kekuasaan Klan Marbun, lalu menginjakkan kaki di tanah yang ia taburkan
tadi, lalu minum air yang juga ia bawa dari kampung halamannya.
Klan Marbun melihat perilaku Datu Galapang
itu sebagai hal yang tidak biasa. Sebagai tamu tak dikenal, dianggap tidak
sopan dengan segala tindakannya itu, sehingga Klan Marbun mendatangi Datu
Galapang yang sedang berdiri, dengan maksud hendak menghalau Datu Galapang
supaya pergi dari tanah kekuasaan mereka.
Tetapi Datu Galapang tidak menghiraukan Klan
Marbun yang berusaha mengusirnya dari situ, malah ia bertanya mengapa
mereka mengusir dirinya, sedang tanah yang ia pijak adalah tanahnya sendiri,
dan ia minum dari airnya sendiri. Mendengar jawaban Datu Galapang, Klan Marbun
sadar bahwa orang yang berada di hadapan mereka bukanlah orang sembarangan.
Setelah gagal dalam usahanya menghalau Datu
Galapang dari tanah kekuasaannya, Klan Marbun kemudian menginformasikan
keberadaan Datu Galapang dan perilakunya kepada Panglima Perang mereka.
Lalu Panglima Perang Klan Marbun mendatangi Datu Galapang dan memintanya
untuk pergi.
Tetapi jawaban Datu Galapang tetap sama,
seperti ia menjawab Klan Marbun sebelumnya, sehingga membuat Panglima Perang
Klan Marbun naik darah dan dengan suara yang tinggi ia menantang Datu Galapang
dan berkata sambil mengeluarkan tongkat saktinya, bahwa Datu Galapang harus
melangkahi mayat Panglima Perang Klan Marbun terlebih dahulu kalau memang tanah
yang ia pijak adalah tanahnya sendiri.
Datu Galapang mendengar Panglima Perang itu
berbicara, dan tak lepas menatap terus penuh waspada, sambil menganalisa ilmu
apa yang dimiliki Panglima Perang Klan Marbun yang sedang berdiri dihadapannya,
apa yang menyebabkannya sehingga ia dikatakan panglima perang yang sangat sakti.
Datu Galapang kemudian menyimpulkan
analisanya, bahwa ilmu sakti yang dimiliki panglima perang Klan Marbun itu
adalah, ilmu yang akan menjadi sakti mandra guna, saat anggota tubuhnya
menyentuh tanah. Tetapi jika panglima perang itu mengawang di atas tanah maka
seluruh ilmu yang ada padanya akan menjadi sirna, dan ia akan dengan mudah
dapat dilumpuhkan.
Setelah menyimpulkan analisanya, Datu
Galapang mulai memainkan akal. Ia menantang Panglima Perang Klan Marbun untuk
bertanding memanjat pohon mangga, dan siapapun diantara mereka berdua yang
lebih dahulu memetik buahnya, maka dia berhak menjadi pemenang.
Mengingat pohon mangga berada lebih dekat
dengannya, panglima perang klan Marbun tanpa pikir panjang segera menyetujui
tantangan Datu Galapang, dan langsung bergerak menaiki pohon mangga tersebut
dengan harapan ia akan memetik buah mangga lebih dahulu.
Malang bagi panglima perang klan Marbun,
ilmu yang ia miliki segera sirna seiring dengan lepasnya kedua kakinya dari
tanah, ketika ia naik memanjat pohon mangga. Kesempatan itu tidak disia-siakan
Datu Galapang, yang dengan sangat cepat mendekati panglima perang itu, dan
menghunjamkan belati ke tubuhnya berulang kali hingga panglima perang itu jatuh
tersungkur kemudian tewas.
Mengetahui panglima perang klan Marbun sudah
dilumpuhkan, Ompu Raung Nabolon Lumbantoruan beserta pasukannya segera
menyerang Klan Marbun. Dengan kekuatan apa adanya, Klan Marbun menghadang
serangan Klan Lumbantoruan tanpa bantuan panglima perangnya, dan terus mundur
hingga peperangan itu sepenuhnya dimenangkan oleh Klan Lumbantoruan.
Setelah beberapa hari merayakan
kemenangannya atas Klan Marbun, Ompu Raung Nabolon kemudian membuat sebuah
pernyataan penting dihadapan sanak saudaranya, khususnya dihadapan ketiga
putranya. Hal itu penting ia sampaikan, agar dikemudian hari tidak terjadi
perselisihan tidak perlu, yang dapat memicu permusuhan diantara mereka.
Ompu Raung Nabolon menyatakan, bahwa atas
jasa baik Datu Galapang yang membantu mereka terlepas dari tekanan perang, maka
sejak saat itu Datu Galapang diangkat secara resmi menjadi salah satu dari
anaknya, menjadi anak keempat dari empat bersaudara. Jika sebelumnya Ompu Raung
Nabolon memiliki tiga anak, maka sejak itu ia nyatakan anaknya empat orang,
yakni Ompu Hombar Najolo yang pertama, dan Ompu Ginjang Manubung yang
kedua, lalu Ompu Pande Namora yang ketiga, serta Datu Galapang yang
keempat. Dengan demikian Datu Galapang ditempatkan sebagai anak bungsu.
Rupanya Datu Galapang menyambut baik tawaran
dari Ompu Raung Nabolon, untuk mengangkat dirinya sebagai anak. Untuk
menjadikan pernyataan itu sah secara hukum adat, kemudian upacara yang sesuai
dengan peristiwa itu segera dilakukan. Dan sejak saat itu, Datu Galapang resmi
menyandang marga Lumbantoruan, dan sah menjadi salah satu kerabat Lumbantoruan.
Sebagai seorang pelarian, peristiwa itu
adalah berkat luar biasa bagi Datu Galapang. Dengan terjadinya peristiwa itu,
maka rasa takutnya terhadap identitas yang lama secara perlahan akan sirna,
seiring dengan diperolehnya status yang baru sebagai anggota di lingkungan
keluarga besar Lumbantoruan.
Upacara pengangkatan anak secara resmi
terhadap Datu Galapang telah usai. Ompu Raung Nabolon sebagai ayah kemudian
memberikan tempat untuk tinggal, serta mewariskan sebidang tanah miliknya
tempat bercocok tanam bagi Datu Galapang Tentu saja semua itu ia lakukan atas
persetujuan dari ketiga putranya, yang menjadi kakak Datu Galapang.
Hari berlalu, tahunpun berganti. Datu
Galapang kemudian bersama pendamping hidupnya melahirkan tiga orang anak, yakni
: Tuan Guru Sinomba, Juara Babiat dan Datu Lobi. Kehadiran anak-anak yang
kemudian tumbuh dan berkembang, membuat Datu Galapang menjadi khawatir, kalau
kelak dikemudian hari, anak-anaknya akan saling menikah dengan keturunan Klan
Naibaho, yang ia tinggalkan di kampung halaman sebelumnya.
Untuk menghindari itu, kemudian ia dan
anak-anaknya mengangkat sumpah bahwa antara keturunannya yang menjadi bagian
dari Klan Lumbantoruan, tidak akan pernah saling menikah dengan anak keturunan
dari Klan Naibaho, karena apapun peristiwa yang sudah terjadi, di dalam tubuh
Datu Galapang tetap mengalir darah Klan Naibaho.
Maka itu anak laki-laki keturunan Datu
Galapang tidak akan menikahi perempuan keturunan Klan Naibaho, dan sebaliknnya
anak perempuan keturunan Datu Galapang, tidak boleh dinikahi laki-laki
keturunan Klan Naibaho. Demikian peristiwa itu terjadi, sehingga padan antara
Lumbantoruan dengan Naibaho kemudian tercipta.
CATATAN
Sebelumnya kami mohon maaf untuk setiap
orang, khususnya keturunan Sihombing Lumbantoruan dan Si Raja Naibaho, terkait
dengan tidak tercapainya nilai kesempurnaan artikel di atas dalam menempatkan
sisi kebenaran ceritanya, sesuai dengan harapan setiap orang. Hal ini kami
sampaikan, mengingat ada beberapa versi tentang sumpah (padan – red) yang
beredar di tengah masyarakat, termasuk diantaranya dalam komunitas kedua marga
itu sendiri.
Dari berbagai cerita yang kami himpun, pada
dasarnya cerita yang masuk, semua menggaris bawahi balas jasa sebagai inti dari
cerita, sama halnya dengan cerita yang kami sajikan dalam artikel di atas.
Terlepas dari alur yang berbeda, kami berharap semua orang dapat memahaminya,
sebab kami melakukan ini hanya karena rasa kagum atas kekayaan cerita rakyat
Batak, yang melegenda hingga ke manca negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar