Kamis, 07 Mei 2015

NAINGGOLAN DAN SIREGAR

Peristiwa terjadinya PADAN (baca - ikrar") antara marga Nainggolan dan Siregar, bermula dari dua orang perempuan, yang satu adalah istri dari Nainggolan Parhusip dan yang satunya adalah istri dari Toga Siregar. Diceritakan, istri dari Nainggolan Parhusip merindukan kehadiran seorang anak perempuan di tengah keluarganya, sementara istri Toga Siregar sebaliknya merindukan kehadiran seorang anak laki-laki.

Bagi istri Nainggolan Parhusip yang telah melahirkan beberapa anak dan semua laki-laki, menjadi alasan baginya untuk mengharapkan seorang anak perempuan. Lain lagi dengan istri Toga Siregar, yang juga belum melahirkan seorang anak laki-laki, menjadi kekhawatiran tersendiri baginya, karena dia adalah istri yang kedua, sementara istri Siregar yang pertama, telah melahirkan dua anak laki-laki.

Perlu juga diketahui, istri Siregar yang kedua ini, adalah adik kandung dari istri pertamanya, yang meninggal setelah melahirkan anaknya yang kedua. Dengan demikian, istri kedua Siregar menggantikan istri pertamanya dengan upacara ”ganti rere” (istri sebelumnya adalah kakak kandung dari istri berikutnya)
                 
Dikabarkan, istri dari Siparhusip dan Siregar mengandung pada waktu yang bersamaan. Tentu berbagai upaya do’a dilakukan, agar keinginan kedua perempuan itu, mendapatkan anak sesuai dambaan hati mereka dapat dikabulkan Yang Maha Kuasa. Tiba waktunya, rupanya kedua perempuan itu ditakdirkan untuk segera melakukan persalinan pada saat yang bersamaan pula.

Ketika saat persalinan tiba, semua harapan menjadi sirna. Istri Siparhusip tetap saja melahirkan anak laki-laki, dan istri Siregar melahirkan anak perempuan. Rupanya Sibaso (Paraji – red), wanita yang membantu persalinan mereka berdua adalah orang yang sama, sosok yang tau persis, keluhan dari kedua wanita itu. Dan, atas petunjuk dari Sibaso/Paraji tersebut, peristiwa besar itupun terjadi.

Dibantu Sang Sibaso, kedua wanita itu membuat kesepakatan, dan kedua anak yang baru saja dilahirkan kemudian ditukar, anak laki-laki yang dilahirkan istri Siparhusip diberikan kepada istri Siregar, dan anak perempuan yang dilahirkan istri Siregar diserahkan kepada istri Siparhusip. Dikabarkan juga, tidak ada yang mengetahui peristiwa itu terjadi, selain tiga orang perempuan, yakni istri Nainggolan Parhusip, istri Toga Siregar dan Sibaso yang membantu persalinan mereka.

Peristiwa besar itu ditandai dengan datangnya ronggur (petir – red) menggelegar, yang membuat seisi wilayah itu terkejut pada siang itu, karena suara itu memekakkan telinga, sampai membuat telinga seperti hendak pecah. Seluruh warga yang mendengar suara itu, memastikan bahwa telah terjadi peristiwa tidak lazim. Hanya saja mereka tidak tau, peristiwa apa yang telah terjadi dan dimana peristiwa itu berlangsung.

Selain membuat penduduk desa terkejut, suara petir itu juga membuat Siparhusip dan Siregar, serta para nelayan yang sedang mencari ikan di tengah danau terkejut bukan kepalang. Hal itu membuat mereka menjadi takut, lalu menepi ke pantai dan pulang ke rumah masing-masing.

Betapa riangnya hati Siparhusip dan Siregar, setelah mereka tau istri mereka melahirkan anak dengan selamat. Mereka sama sekali tidak tau hari itu istri mereka telah melahirkan, kalau warga desa tidak memberitahukannya. Mendengar berita bahagia itu, mereka berdua semakin mempercepat langkah, agar tiba di rumah lebih cepat.

Setibanya di rumah, Siparhusip segera menghampiri istrinya, lalu mengucapkan selamat, yang ia ungkapkan sebagai wujud sukacita. Rasa sukacita Siparhusip semakin bertambah-tambah, setelah ia tau anaknya yang lahir adalah seorang perempuan. Tetapi, semakin ia memperhatikan anak itu, rasa suka cita yang sedari tadi menghiasi wajah Siparhusip mulai berubah. Ekspresi wajah Siparhusip semakin menunjukkan rona kecurigaan, ketika semakin ia menatap anak perempuan yang baru lahir itu.

Melihat gelagat suaminya yang mulai curiga, istri Siparhusip mulai gelisah. Kegelisahan itu semakin meningkat dan berubah menjadi rasa takut, ketika tiba-tiba petir kembali menggelegar hingga membuat bayi perempuan itu kaget lalu menangis. Sementara itu, kecurigaan Siparhusip semakin meningkat seiring dengan suara petir yang datang secara tiba-tiba, membuat ia semakin percaya kepada kata hatinya, bahwa bayi perempuan itu bukanlah darah dagingnya.

Tidak menunggu lama, istri Nainggolan Parhusip segera bangkit dan menghampiri suaminya, lalu membungkuk dan sujud, seraya menuturkan peristiwa yang sudah terjadi, kemudian memohon ampun atas segala dosa yang telah ia lakukan, karena ia telah bertindak terlalu jauh, tanpa sepengetahuan suaminya.

Melihat ketulusan hati istrinya untuk memohon ampun, Siparhusip mengurungkan niat untuk menghukum istrinya, lalu meraih bayi perempuan itu dari sisi istrinya, kemudian membawa pergi menuju kediaman Siregar. Nainggolan Parhusip berniat untuk menukar kembali bayi perempuan, dengan bayi laki-lakinya yang ada pada keluarga Siregar.

Melihat Siparhusip muncul diambang pintu rumahnya dengan membawa bayi, istri Siregar mendadak ketakutan. Ia sadar, rahasia yang ia simpan bersama istri Si Parhusip tentang pertukaran bayi sepertinya telah terbongkar. Melihat gelagat Siparhusip sudah siap untuk angkat bicara, istri Siregar segera bangkit dari tempatnya, lalu tunduk dan sujud di hadapan suaminya. Istri Siregar juga menjelaskan dengan rinci peristiwa yang telah terjadi, dan mengakui segala kesalahan yang telah ia lakukan, lalu memohon ampun kepada suaminya atas tindakan itu.

Toga Siregar sangat terkejut mendengar penjelasan dari istrinya, sehingga membuatnya tak mampu bicara walau sepatah kata. Pengakuan istrinya membuat dirinya terkulai lemas, sebab anak laki-laki mereka bukanlah anak yang lahir dari rahim istrinya, melainkan dari rahim istri Siparhusip. Melihat situasi yang semakin tidak menentu, Siregar hanya bisa berserah kepada Yang Maha Kuasa. Ia pasrah kalau Siparhusip sampai melampiaskan amarah kepada dirinya. Ia sangat sadar, bahwa istrinya telah bertindak melampaui batas.

Melihat Siregar pasrah dalam ketidak berdayaan, kemudian Nainggolan Parhusip angkat bicara. Dia menyesalkan semua tindakan para istri, karena bertindak tanpa melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan para suami mereka. Jika keinginan itu dibicarakan dengan baik, tentu ada hal yang membuat pembicaraan berakhir dengan mufakat. Begitu Si Parhusip menuturkan kata, yang sedari tadi dipendam di dalam hati.

Kemudian Nainggolan Parhusip membuat pernyataan yang mencengangkan, bahwa sejak saat itu, Siregar harus menjadi adiknya lalu mengangkat sumpah, bahwa sejak saat itu pula, anak laki-laki keturunan Nainggolan Parhusip tidak boleh mengawini anak perempuan Siregar Silali, dan begitu juga sebaliknya, anak laki-laki keturunan Siregar Silali tidak boleh mengawini anak perempuan Nainggolan Parhusip. Dan sejak saat itu, bayi laki-laki yang diserahkan Siparhusip kepada Siregar, resmi diberi nama Silali.

Masih mendekap bayi perempuan Siregar, Nainggolan Parhusip melanjutkan pernyataannya, bahwa sejak saat itu anak perempuan Siregar menjadi anaknya, dan anak laki-lakinya sendiri ia serahkan menjadi anak Siregar. Mendengar pernyataan Siparhusip, Siregar dan istrinya menjadi lega, dan mereka berdua bangkit dari tempatnya secara bersamaan dan sujud di hadapan Nainggolan Parhusip, lalu menyatakan menerima sumpah (padan – red) sebagai sumpah bersama, dan menjadi sumpah secara turun-temurun bagi keturunan Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali.

Hingga saat ini, keturunan Nainggolan Parhusip dan keturunan Siregar Silali tidak ada yang saling menikah, mereka sungguh menghormati PADAN (sumpah – red) yang telah dinaikkan oleh kakek moyang mereka. Dahulu memang hanya Nainggolan Parhusip dengan Siregar Silali saja yang mengangkat sumpah, namun saat ini semua keturuanan Nainggolan dan keturunan Siregar sudah bersatu dan sepakat, bahwa sumpah bukan hanya milik Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali semata, melainkan untuk semua keturunan Nainggolan dan keturunan Siregar lainnya.

CATATAN

Sebelumnya kami mohon maaf untuk setiap orang, khususnya keturunan Toga Nainggolan dan Toga Siregar, terkait dengan tidak tercapainya nilai kesempurnaan artikel di atas, untuk menempatkan sisi kebenaran ceritanya, sesuai dengan harapan setiap orang. Hal ini kami sampaikan, mengingat ada beberapa versi tentang sumpah (padan – red) Nainggolan dan Siregar yang beredar di tengah masyarakat, termasuk diantaranya dalam komunitas Nainggolan dan Siregar itu sendiri.

Dari berbagai cerita yang kami himpun, pada dasarnya cerita yang masuk, semua menggaris bawahi pertukaran bayi sebagai inti dari cerita, sama halnya dengan cerita yang kami sajikan dalam artikel di atas. Terlepas dari alur yang berbeda, kami berharap semua orang dapat memahaminya, sebab kami melakukan ini hanya karena rasa kagum atas kekayaan cerita rakyat Batak, yang melegenda hingga ke manca negara.

Sekian & Terimakasih ... SALAM GEMILANG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar